A.
‘Ariyah (pinjam-meminjam)
‘Ariyah
adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil
manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat
dikembalikan. Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Tiap-tiap
yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh
dipinjam atau dipinjamkan.
2.
... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.s al Maidah: 2)
Hukum
Meminjamkan :
Asal
hukum meminjamkan sesuatu itu sunat, seperti
toplong menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti
meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk
menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang
dipinjam itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
Rukun
Meminjam
1.
Ada
yang meminjamkan. Syaratnya:
a.
Ahli
(berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa,
tidak sah meminjmkan
b.
Manfaat
barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan
wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan
bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh
meminjamkan barang yang dipinjamnya, karena manfaat barang yang dipinjam bukan
miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya, tetapi membagikan manfaat yang
boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan; misalnya dia meminjam
rumah selama satu bulan, tetapi ditempatnya hanya 15 hari, maka sisanya (15 hari
lagi) boleh diberikannya kepada orang lain.
2.
Ada
yang meminjam
Hendaklah
seseorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila
tidak sah meminjamkan sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima
kebaikan.
3.
Ada
barang yang dipinjam
a.
Barang
yang benar-benar ada manfaatnya.
b.
Sewaktu
diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak). Oleh karena itu makanan dengan
sifat makanan untuk dimakan, tidak sah dipinjamkan.
4.
Ada
lafaz
Hilangnya
barang yang dipinjam
Kalau
barang yang dipinjam itu hilang atau rusak karena pemakaian yang diizinkan,
yang meminjam tidak perlu mengganti
karena pinjam-meminjam itu berarti percaya mempercayai, tetapi kalau karena
sebab lain maka wajib mengganti. Akad ariyah putus karena salah seorang dari
yang meminjam atau yang meminjamkan mati, begitu juga karena gila. Maka apabila
yang meminjam mati ahli warisnya wajib mengembalikan barang pinjaman dan tidak
halal bagi mereka memakainya kalau mereka pakai juga. Kalau yang meminjamkan
dengan yang meminjam berselisih (yang pertama mengatakan belum dikembalikan,
sedangkan yang kedua mengaku sudah mengembalikannya), maka yang meminjamkan
hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum kembali. Sesudah
yang meminjam mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akad, dia
tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.
B.
Hibah, sedekah, dan hadiah
1.
Hibah,
yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya.
2.
Sedekah,
memberikan barang dengan tidak ada tukarannya karena mengharapkan pahala di akhirat.
3.
Hadiah,
memberikan barang dengan tidak ada tukarannya serta dibawa ke tempat yang
diberi karena hendak memuliakannya.
177.
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; (Qs Al-baqarah: 177)
Rukun Hibah,
sedekah dan hadiah
1.
Ada
yang memberi. Syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya dan
memiliki barang yang diberikan. Maka anak kecil, orang gila, dan menyianyiakan
harta tidak sah memberikan harta benda mereka kepada yang lain, begitu juga
wali terhadap harta benda yang diserahkan kepadanya.
2.
Ada
yang diberi. Syaratnya yaitu berhak memiliki. Tidak sah memberikan kepada anak
yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan pada binatang, karena keduanya
tidak dapat memilki.
3.
Ada
ijab dan qabul, misalnya orang yang memberi berkata, “saya berikan ini kepada
engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.” Kecuali sesuatu yang menurut
kebiasaan memang tidak perlu mengucapkan ijab qabul, misalnya seorang istri
menghibahkan gilirannya kepada madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada
anaknya yang masih kecil
4.
Ada
barang yang diberikan. Syaratnya adalah hendaklah barang itu dapat dijual,
kecuali:
a.
Barang-barang
yang kecil. Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi
sah diberikan.
b.
Barang
yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
c.
Kulit
bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
Tetapnya pemberian menjadi milik
Barang
yang diberikan belum menjadi milik orang yang diberikan kecuali sesudah
diterimanya, tidak dengan semata-mata akad. Keterangan: Nabi Saw. Pernah
memberikan 30 buah katsuri kepada najasy, kemudian najasy meninggal dunia
sebelum menerimanya. Nabi saw mencabut kembali pemberian itu. Kalau salah
seorang yang memberi atau yang diberi mati sebelum menerima, atau menerimakan
barang yang telah diakadkan itu, dan boleh juga mencabutnya.
Mencabut
pemberian
Pemberian
yang sudah diberikan dan sudah diterima tidak boleh dicabut kembali kecuali
pemberian bapak kepada anaknya, tidak berhalangan dicabut atau dimintanya
kembali. Seorang bapak dibolehkan mencabut pemberian kepada anaknya karena ia
berhak menjaga kemaslahatan anaknya, juga cukup menaruh perhatian (kasih sayang
kepada anaknya). Sungguh tidak berhalangan apabila bapak mencabut pemberian
kepada anaknya, tetapi dengan syarat “barang yang diberikan itu masih meskipun
sedang dirungguhkan. Maka apabila milik anak telah hilang, si bapak tidak boleh
mencabut pemberiannya lagi, walaupun barang itu kembali kepada anak dengan
jalan lain. Bapak diperbolehkan mengambil harta anaknya apabila dia menginginkannya.
C.
Wadi’ah (petaruh)
Petaruh
ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dia dapat memelihara dan
menjaganya sebagaimana mestinya. Firman Allah SWT:
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, (Qs An-nisa’: 58)
Hukum menerima
petaruh
1.
Sunat,
bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang
diserahkan kepadanya. Hukum ini sunat apabila ada orang lain yang dapat
dipetaruhi, tetapi kalau tidak ada yang lain, hanya dia sendiri, ketika itu ia
wajib menerima petaruh yang dititipkan kepadanya.
2.
Haram,
apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya,
karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang
yang dititipkan itu.
3.
Makruh,
yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia idak percaya kepada dirinya,
boleh jadi di kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang
dititipkan kepadanya.
Rukun Petaruh
1.
Ada
barang yang dipetaruhkan. Syaratnya merupakan milik yang sah.
2.
Ada
yang berpetaruh dan yang menerima petaruh. Syarat keduanya seperti keadaan
wakil dan yang berwakil, tiap-tiap orang yang sah berwakil atau menjadi wakil,
sah pula menerima petaruh atau berpetaruh.
3.
Lafaz, seperti: “saya pertaruhkan barang ini kepada
engkau” jawabnya, “saya terima petaruhmu”. Menurut pendapat yang sah tidak
disyaratkan adanya lafaz kabul, tetapi cukup dengan perbuatan (menerima barang
yang dipertaruhkan). Habis masa akad wadi’ah ialah dengan matinya salah seorang
dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu juga apabila salah
seorangnya gila atau minta berhenti.
Akad petaruh adalah akad percaya mempercayai. Oleh karena itu, yang
menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang yang dipertaruhkan
hilang atau rusak. Kecuali apabila rusak karena ia lalai atau kurang penjagaan,
berarti tidak dijaga sebagaimana
mestinya.
Peringatan :
Apabila
seseorang yang menyimpan petaruh sudah begitu lama sehingga ia tidak tahu lagi
dimana atau siapa pemiliknya dan dia sudah pula berusaha mencari dengan
secukupnya, namun tidak juga didapatnya keterangan yang jelas, maka barang itu
boleh dipergunakan untuk kepentingan umat islam dengan mendahulukan yang lebih
penting dari yang penting.
D.
Luqatah (barang temuan)
Luqatah
ialah barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorang
pun. Hukum mengambil barang temuan:
1.
Sunat
bagi orang percaya kepada dirinya bahwa ia sanggup mengerjakan segala yang
bersangkutan dengan pemeliharaan barang itu sebagaimana mestinya.
2.
Wajib
apabila berat sangkaannya bahwa barang itu akan hilang dengan sia-sia kalau
tidak diamblnya.
3.
Makruh
bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya, boleh jadi dia akan berkhianat
terhadap barang itu kemudian hari.
Rukun Luqatah:
1.
Ada
yang mengambil.
2.
Bukti
barang temuan. Yaitu ada empat:
a.
Barang
yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah disimpan ditempat
yang sesuai dengan keadaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum
ditempat-tempat yang ramai dalam masa satu tahun
b.
Barang
yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang yang mengambil barang
seperti ini boleh memilih antara mempergunakan barang itu, asal dia sanggup
menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang, atau ia jual, uangnya
hendaklah ia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada pemiliknya apabila
bertemu.
c.
Barang
yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu dapat disimpan lama apabila
dijadikan keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah
bagi pemiliknya (dijual ataukah dibuat keju).
d.
Suatu
yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia, umpamanya anak kecil.
Sedangkan binatang ada dua macam. Pertama, binatang yang kuat berarti
dapat menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas misalnya, unta,
kerbau, atau kuda. Binatang seperti ini lebih baik dibiarkan saja, tidak usah
diambil. Kedua, binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap
bahaya binatang yang buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil. Sesudah
diambil diharuskan melakukan salah satu dari tiga cara: 1) disembelih, lalu
dimakan, dengan syarat mampu membayar harganya apabila bertemu dengan
pemiliknya. 2) dijual, dan uangnya disimpan agar dapat diberikannya kepada
pemiliknya. 3) dipelihara dan diberi makan dengan maksud menolong semata-mata.
Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga
hendaklah diberitahukan dalam masa satu tahun. Tetapi kalau barang yang
kecil-kecil (tidak begitu berharga), cukup diberitahukan dalam masa kira-kira
yang kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.
32. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. (Qs Al-maidah: 32)
Kalau
seseorang yang mengambil sesuatu yang ditemukan itu sengaja berkhianat, yaitu
tidak diberitahukannya, melainkan sengaja diambil untuk menjadi miliknya
sendiri, kemudian barang itu hilang dari tangannya, maka ia wajib mengganti,
walaupun pada akhirnya diberitahukannya juga. Sebaliknya kalau mula-mula dia
sengaja untuk amanat, kemudian berbalik menjadi khianat, maka dia tidak wajib
mengganti karena ia semata-mata sengaja berkhiana sesudah adanya barang
ditangannya.
Kalau barang sudah dimiliki oleh orang yang menemukannya, kemudian
datang pemiliknya, hendaklah barang itu dikembalikan berikut tambahannya yang
tidak dapat dipisahkan, kecuali tambahan yang terpisah, adalah kepunyaan orang
yang menemukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar