Sabtu, 27 Februari 2016

Materi Pinjam meninjam (‘Ariyah)



A.  ‘Ariyah (pinjam-meminjam)
‘Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan. Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.

2. ... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.s al Maidah: 2)
Hukum Meminjamkan :
Asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunat, seperti  toplong menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
Rukun Meminjam
1.    Ada yang meminjamkan. Syaratnya:
a.    Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjmkan
b.    Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya, karena manfaat barang yang dipinjam bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya, tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan; misalnya dia meminjam rumah selama satu bulan, tetapi ditempatnya hanya 15 hari, maka sisanya (15 hari lagi) boleh diberikannya kepada orang lain.
2.    Ada yang meminjam
Hendaklah seseorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila tidak sah meminjamkan sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
3.    Ada barang yang dipinjam
a.    Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
b.    Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak). Oleh karena itu makanan dengan sifat makanan untuk dimakan, tidak sah dipinjamkan.
4.    Ada lafaz
Hilangnya barang yang dipinjam
Kalau barang yang dipinjam itu hilang atau rusak karena pemakaian yang diizinkan, yang  meminjam tidak perlu mengganti karena pinjam-meminjam itu berarti percaya mempercayai, tetapi kalau karena sebab lain maka wajib mengganti. Akad ariyah putus karena salah seorang dari yang meminjam atau yang meminjamkan mati, begitu juga karena gila. Maka apabila yang meminjam mati ahli warisnya wajib mengembalikan barang pinjaman dan tidak halal bagi mereka memakainya kalau mereka pakai juga. Kalau yang meminjamkan dengan yang meminjam berselisih (yang pertama mengatakan belum dikembalikan, sedangkan yang kedua mengaku sudah mengembalikannya), maka yang meminjamkan hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum kembali. Sesudah yang meminjam mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akad, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.
B.  Hibah, sedekah, dan hadiah
1.    Hibah, yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya.
2.    Sedekah, memberikan barang dengan tidak ada tukarannya karena mengharapkan pahala di akhirat.
3.    Hadiah, memberikan barang dengan tidak ada tukarannya serta dibawa ke tempat yang diberi karena hendak memuliakannya.
 
177. memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; (Qs Al-baqarah: 177)
Rukun Hibah, sedekah dan hadiah
1.    Ada yang memberi. Syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan. Maka anak kecil, orang gila, dan menyianyiakan harta tidak sah memberikan harta benda mereka kepada yang lain, begitu juga wali terhadap harta benda yang diserahkan kepadanya.
2.    Ada yang diberi. Syaratnya yaitu berhak memiliki. Tidak sah memberikan kepada anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan pada binatang, karena keduanya tidak dapat memilki.
3.    Ada ijab dan qabul, misalnya orang yang memberi berkata, “saya berikan ini kepada engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.” Kecuali sesuatu yang menurut kebiasaan memang tidak perlu mengucapkan ijab qabul, misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya kepada madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada anaknya yang masih kecil
4.    Ada barang yang diberikan. Syaratnya adalah hendaklah barang itu dapat dijual, kecuali:
a.    Barang-barang yang kecil. Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
b.    Barang yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
c.    Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
Tetapnya pemberian menjadi milik
Barang yang diberikan belum menjadi milik orang yang diberikan kecuali sesudah diterimanya, tidak dengan semata-mata akad. Keterangan: Nabi Saw. Pernah memberikan 30 buah katsuri kepada najasy, kemudian najasy meninggal dunia sebelum menerimanya. Nabi saw mencabut kembali pemberian itu. Kalau salah seorang yang memberi atau yang diberi mati sebelum menerima, atau menerimakan barang yang telah diakadkan itu, dan boleh juga mencabutnya.
Mencabut pemberian
Pemberian yang sudah diberikan dan sudah diterima tidak boleh dicabut kembali kecuali pemberian bapak kepada anaknya, tidak berhalangan dicabut atau dimintanya kembali. Seorang bapak dibolehkan mencabut pemberian kepada anaknya karena ia berhak menjaga kemaslahatan anaknya, juga cukup menaruh perhatian (kasih sayang kepada anaknya). Sungguh tidak berhalangan apabila bapak mencabut pemberian kepada anaknya, tetapi dengan syarat “barang yang diberikan itu masih meskipun sedang dirungguhkan. Maka apabila milik anak telah hilang, si bapak tidak boleh mencabut pemberiannya lagi, walaupun barang itu kembali kepada anak dengan jalan lain. Bapak diperbolehkan mengambil harta anaknya apabila dia menginginkannya.
C.  Wadi’ah (petaruh)
Petaruh ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dia dapat memelihara dan menjaganya sebagaimana mestinya. Firman Allah SWT:
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, (Qs An-nisa’: 58)
Hukum menerima petaruh
1.    Sunat, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Hukum ini sunat apabila ada orang lain yang dapat dipetaruhi, tetapi kalau tidak ada yang lain, hanya dia sendiri, ketika itu ia wajib menerima petaruh yang dititipkan kepadanya.
2.    Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
3.    Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia idak percaya kepada dirinya, boleh jadi di kemudian hari hal itu akan menyebabkan  dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.
Rukun Petaruh
1.    Ada barang yang dipetaruhkan. Syaratnya merupakan milik yang sah.
2.    Ada yang berpetaruh dan yang menerima petaruh. Syarat keduanya seperti keadaan wakil dan yang berwakil, tiap-tiap orang yang sah berwakil atau menjadi wakil, sah pula menerima petaruh atau berpetaruh.
3.    Lafaz,  seperti: “saya pertaruhkan barang ini kepada engkau” jawabnya, “saya terima petaruhmu”. Menurut pendapat yang sah tidak disyaratkan adanya lafaz kabul, tetapi cukup dengan perbuatan (menerima barang yang dipertaruhkan). Habis masa akad wadi’ah ialah dengan matinya salah seorang dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu juga apabila salah seorangnya gila atau minta berhenti.
Akad petaruh adalah akad percaya mempercayai. Oleh karena itu, yang menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang yang dipertaruhkan hilang atau rusak. Kecuali apabila rusak karena ia lalai atau kurang penjagaan, berarti tidak dijaga  sebagaimana mestinya.
Peringatan :
Apabila seseorang yang menyimpan petaruh sudah begitu lama sehingga ia tidak tahu lagi dimana atau siapa pemiliknya dan dia sudah pula berusaha mencari dengan secukupnya, namun tidak juga didapatnya keterangan yang jelas, maka barang itu boleh dipergunakan untuk kepentingan umat islam dengan mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.
D.  Luqatah (barang temuan)
Luqatah ialah barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorang pun. Hukum mengambil barang temuan:
1.    Sunat bagi orang percaya kepada dirinya bahwa ia sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan barang itu sebagaimana mestinya.
2.    Wajib apabila berat sangkaannya bahwa barang itu akan hilang dengan sia-sia kalau tidak diamblnya.
3.    Makruh bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya, boleh jadi dia akan berkhianat terhadap barang itu kemudian hari.
Rukun Luqatah:
1.    Ada yang mengambil.
2.    Bukti barang temuan. Yaitu ada empat:
a.    Barang yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah disimpan ditempat yang sesuai dengan keadaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum ditempat-tempat yang ramai dalam masa satu tahun
b.    Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang yang mengambil barang seperti ini boleh memilih antara mempergunakan barang itu, asal dia sanggup menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang, atau ia jual, uangnya hendaklah ia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada pemiliknya apabila bertemu.
c.    Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu dapat disimpan lama apabila dijadikan keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemiliknya (dijual ataukah dibuat keju).
d.   Suatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia, umpamanya anak kecil. Sedangkan binatang ada dua macam. Pertama, binatang yang kuat berarti dapat menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas misalnya, unta, kerbau, atau kuda. Binatang seperti ini lebih baik dibiarkan saja, tidak usah diambil. Kedua, binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap bahaya binatang yang buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil. Sesudah diambil diharuskan melakukan salah satu dari tiga cara: 1) disembelih, lalu dimakan, dengan syarat mampu membayar harganya apabila bertemu dengan pemiliknya. 2) dijual, dan uangnya disimpan agar dapat diberikannya kepada pemiliknya. 3) dipelihara dan diberi makan dengan maksud menolong semata-mata.
Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga hendaklah diberitahukan dalam masa satu tahun. Tetapi kalau barang yang kecil-kecil (tidak begitu berharga), cukup diberitahukan dalam masa kira-kira yang kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.    
32. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Qs Al-maidah: 32)
Kalau seseorang yang mengambil sesuatu yang ditemukan itu sengaja berkhianat, yaitu tidak diberitahukannya, melainkan sengaja diambil untuk menjadi miliknya sendiri, kemudian barang itu hilang dari tangannya, maka ia wajib mengganti, walaupun pada akhirnya diberitahukannya juga. Sebaliknya kalau mula-mula dia sengaja untuk amanat, kemudian berbalik menjadi khianat, maka dia tidak wajib mengganti karena ia semata-mata sengaja berkhiana sesudah adanya barang ditangannya.
Kalau barang sudah dimiliki oleh orang yang menemukannya, kemudian datang pemiliknya, hendaklah barang itu dikembalikan berikut tambahannya yang tidak dapat dipisahkan, kecuali tambahan yang terpisah, adalah kepunyaan orang yang menemukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...