BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pernikahan
merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik
pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan cara yang
dilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang bak dan melestarikan
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi
menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai denan
martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara
terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul
sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai.
Dengan
demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan supaya dapat halal harus
melalui pernikahan. Didalam pernikahan menjelaskan kewajiban umat manusia untuk
melangsungkan pernikahan. Maka pemakalah akan menyajikan mengenai hadis yang
menjelaskan masalah pernikahan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hadis
yang menjelaskan mengenai pernikahan?
2.
Apa pengertian
pernikahan?
3.
Apa tujuan
pernikahan?
4.
Seperti apa
kriteria calon pasangan hidup?
5.
Apa saja hak
dan kewajiban suami istri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pernikahan
Hubungan antara laki-laki dan perempuan supaya dapat halal harus
melalui pernikahan. Menurut hukum Islam, terdapat beberapa definisi mengenai pernikahan,
salah satunya ialah, perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan
syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia,
sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zariyat: 49.
Artinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT.” (QS.
Az-Zariyat:49)
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT
berpasang-pasangan inlah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak
dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.
Dalam
berkeluarga yang baik menurut Islam sangat menjunjung untuk menuju kepada
kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki. Islam menganjurkan orang
berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga
yang baik, seperti dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi SAW. Riwayat Imam
Bukhori dan Imam Muslim dari Ibn Abbas:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابَ مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَا ءَةَ فَلْيَتَزَ وَّجْ فَأِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ. (رواه البخار ومسلم عن عباس)
Artinya: “Hai para pemuda, barangsiapa
yang telah sanggup di antaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya
kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan
Berikut ini hadis anjuran menikah lainnya:
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ : كُنْتُ مَعَ
عَبْدِاللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى فَقَالَ : يَاأَبَا
عَبْدِالرَّحْمنِ اِنَّ لِى اِلَيْكَ حَاجَةً, فَخَلَيَا, فَقَالَ عُثْمَانُ: هَلْ
لَكَ يَاأَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِى اَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ
مَاكُنْتَ تَعْهَدُ؟ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُاللهِ اَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ اِلَى
هذَا اَشَارَ اِلَيّ فَقَالَ : يَاعَلْقَمَةُ: فَانْتَهَيْتُ اِلَيْهِ وَهُوَ
يَقُوْلُ: اَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَى اللهِ
عَلَيْهِ وَسَلَمَ: "يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ".
Artinya: “Dari Alqamah, dia berkata: Aku
bersama Abdullah, lalu dia ditemui Utsman di Mina dan dia berkata, “Wahai Abu
Abdurrahman, sesungguhnya aku memiliki kepentingan denganmu.” Maka keduanya pun
menyingkir ke tempat sepi. Utsman berkata, “Apakah engkau mau wahai Abdurrahman
kami nikahkan dengan gadis yang dapat mengingatkanmu akan apa yang biasa padamu
dahulu?” ketika Abdullah melihatnya tidak membutuhkan hal itu, maka dia
mengisyaratkan kepadaku seraya berkata, “Wahai Alqamah.” Aku menuju kepadanya
dan dia berkata, “Ketahuilah, sekiranya engkau mengatakan itu maka sungguh Nabi
SAW telah bersabda kepada kami, ‘Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara
kamu mampu al baa’ah maka hendaklah menikah, dan barangsiapa tidak mampu maka
hendaklah berpuasa, sesungguhnya puasa itu menjadi perisai baginya’.”
Al-Jaziru mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang melakukan
perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’, adakalanya wajib,
haram, makruh, sunah dan mubah.
1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandanya tidak segera menikah. Maka hukum melakukan pernikahan bagi orang
tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap
muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang.
2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melaksanakan pernikahan bagi orang
tersebut adalah sunnah.
3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram
Bagi orang yang tidak memunyai keinginan
dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam
rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikan akan terlantarlah dirinya
dan istrinya.
4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Bagi orang yang mempunyai kemapuan untuk
melakukan pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan utnuk menahan diri sehingga
tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak menikah.
Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi
kewajiban suami istri dengan baik.
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat
zina dan apabila melakukannya juga tidak akan melantarkan istri. Perkawinan
orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan
menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
B. Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk
memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Jadi aturan pernikahan menurut Islam merupakan tuntunan
agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan pernikahan
pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.
Menurut Al-Ghazali, sebagai sunnah Nabi pernikahan
mempunyai tujuan yang dikembangkan menjadi 5, yaitu:
1. Mendapatkan dan
melangsungkan keturunan.
Naluri manusia
memunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak
keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan kebenaran
keyakinan agama Islam. Kehidupan keluarga bahagia umumnya ditentukan oleh
kehadiran anak-anak.
Anak sebagai
keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu dalam
hidup di dunia, bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti.
2. Memenuhi hajat
manusia manyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
Sudah
menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan
diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan. Disamping
pernikahan untuk naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang
di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.
3. Memenuhi
panggilan agama, memelihara dari kejahatan dan kerusakan.
Sesuai
dengan surat Ar-Rum ayat 21 bahwa
ketenangan hidup dan cinta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan melalui
pernikahan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan pernikahan
akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan keruskaan, baik kerusakan
dirinya sendiri maupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai
nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak
baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
...sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan....
Dorongan nafsu yang utama ialah
nafsu seksual, karenanya perulah menyalurkannya dengan baik, yakni dengan
pernikahan. Pernikahan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau mengembalikan
gejolak nafsu seksual, seperti dalam hadis Nabi SAW:
...
فَاِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ...
...
Sesungguhnya pernikahan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat
menjaga kehormatan ...
4. Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga
bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
Hidup
sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belum berkeluarga tindakannya
sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang mantap dan kurang
bertanggung jawab. Misalnya dalam bekerja, akan lebih bersunggunh-sungguh untuk
dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian pula dalam menggunakan hartanya,
orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif dan hemat, karena mengingat
kebutuhan keluarga rumah.
Suami
istri yang pernikahannya didasarkan pada pengamalan agama, jerih payah dalam
usahanya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibinanya
dengan demikian dapat menimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta
berusaha mencari harta yang halal.
5. Membangun rumah
tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih
sayang
Suatu
kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan
bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang
terbentuk melalui pernikahan. Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan
ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan
masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota
keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor
terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat.
C. Kriteria memilih istri
Rasulullah SAW bersabda
:
تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَاوَجَماَ لِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَة
Artinya: “Wanita
itu dinikahi karena 4 perkara:
“karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena
agamanya. Maka hendaklah engkau memilih (perempuan) yang beragama, niscaya kamu
akan beruntung”.(Muttafaq ‘Alaih dan imam tujuh)
1.
Karena hartanya
Di dalam hadis ini seorang laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan
untuk memilih calon istri berdasarkan hartanya. Karena dengan harta mereka bisa
mencukupi kebutuhan hidup keluaganya. Dengan harta pula mereka tidak akan
kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta bisa menyisihkan sedikit hartanya
untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam hadis juga diterangkan jika harta itu
milik istri maka suami boleh menggunakan harta tersebut dengan izin istri.
Berbeda halnya dengan harta milik suami, istri berhak memakainya karena pada
dasarnya suami wajib memeberi nafkah kepada istri. Namun makruh hukumnya jika
seorang laki-laki memilih calon istri berdasarkan hartanya, karena dikhawatirkan dengan harta
istri bisa menurunkan kehormatan suami.
2.
Karena keturunannya
Anjuran berikutnya memilih calon pasangan berdasarkan nasabnya. Nasab disini bisa diartikan
menjadi dua makna yaitu, keturunan dan derajat atau pangkat. Jika dilihat dari
keturunan, maka seseorang yang akan memilih jodohnya harus mengetahui asal-usul
kelahiran Si calon dari ayah dan kerabat dekatnya yang satu nasab. Dengan mengetahui
nasab atau keturunannya maka tidak akan menimbulkan fitnah.
Nasab dilihat dari
derajat atau pangkat kemuliaan. Dengan memilih wanita yang memiliki derajat
atau pangkat maka bisa mengangkat kehormatan dirinya. Namun, laki-laki yang
menikahi seorang perempuan berdasarkan kehormatannya saja, juga dihinakan oleh
Nabi, sebagaimana sabdanya: “Barang
siapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah baginya
kecuali kehinaan.”
3.
Karena
kecantikannya
Memilih wanita dari kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita
yang cantik itu enak dipandang. Akan tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah
dengan wanita yang sangat cantik malah justru akan menimbulkan keresahan pada
suaminya, bahkan takut menimbulkan fitnah.
4.
Karena agamanya
Memilih perempuan untuk dinikahi berdasarkan agamanya adalah yang paling
pokok yang dianjurkan oleh Nabi saw. Memilih wanita dari agamanya, karena
wanita yang baik agamanya dapat memberikan manfaaat dunia dan akhirat. Pasangan
hidup membangun suatu rumah tangga yang bahagia juga sangat ditentukan oleh
akhlak dan agamanya. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak yang baik
(wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat di atur dalam keluarga, serta
wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa
bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun keadaannya.
Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang
baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam.
Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai
keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau.
D. Kriteria memilih suami
Bagi para
wanita haruslah berhati-hati dalam memilih suami, karena disini suami nyalah
ditentukan kebahagiaan dan keamanannya. Maka dari itu,dalam memilih calon suami
wanita harus mempertimbangkan beberapa hal yang ada dalam diri calon suami yang
akan dipilih. Berikut kriterianya:
1.
Lelaki yang seagama
Dalam ajaran
agama, muslimah diharamkan menikah dengan lelaki non muslim, karena wanita akan
sulit melaksanakan ibadahnyaa,anak akan bingung memilih agama siapa dan
sulitnya hubungan persaudaraan.
2.
Lelaki yang kuat agamanya
Dalam memilih
calon suami, wanita heendaknya memilih lelaki yang iman dan taqwanya melebihi
dirinya,karena suami adalah pemimpin.
3.
Lelaki yang berpengetahuan Luas
Tugas suami
adalah memimpin keluarganya menuju Ridho Allah swt. Dan untuk mendidik istri
dan anak agar taat dan patuh terhadap syari’at islam bukanlah hal yang mudah.
Untuk itu diperlukan ilmu dan wawasan yang luas. Ilmu dan wawasan disini bukan
hanya dalam masalah agama tetapi juga umum.
4.
Lelaki yang mampu membiayai hidup
Islam melarang
lelaki yang belum mampu membiayai kebutuhan rumah tangga menikah. Hal ini
dikarenakan pemenuhan kebutuhan merupakan awal dari terwujudnya rumah tangga
yang harmonis sebalikny, islam menganjurkan lelaki yang sudah mampu untuk
segera menikah.
E. Hak dan kewajiban suami terhadap istri
1. Hak suami atas istri
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْكُنْتُ اَمِرًا
أَحَدًا أّنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لَزَوْجِهَا
(رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ).
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW., beliu bersabda: “Seandainya
aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang niscaya aku
menyuruh seorang isteri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi, ia
berkata: “Ini Hadis Hasan Shahih.”)
Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan
agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami menyuruh istri
untuk berbuat maksiat, maka istri harus menolaknya. Diantara ketaatan istri
kepada suami adalah tidak keluar rumah, kecuali dengan seizinnya.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 dijelaskan bahwa istri harus bisa
menjaga dirinya, baik ketika berada di depan suami maupun di belakangnya, dan
ini merupakan salah satu ciri istri yang shalihah.
Artinya: “Sebab itu maka wanita yang
shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan
suaminya oleh karena Allah telah memelihara mereka ... (QS. An-Nisa’: 34)
Maksud memelihara diri dibalik
pembelakangan suaminya dalam ayat tersebut adalah istri dalam menjaga dirinya
ketika suaminya tidak ada dan tidak berbuat khianat kepadanya, baik mengenai
diri maupun harta bendanya. Inilah salah satu kewajiban bagi seorang istri terhadap
suaminya.
Diantara beberapa hak suami terhadap
istrinya:
a)
Ditaati dalam
hal-hal yang tidak maksiat.
b)
Istri menjaga
dirinya sendiri dan harta suami.
c)
Menjauhkan diri
dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
d)
Tidak bermuka
masam terhadap suami.
e)
Tidak
menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.
2. Kewajiban suami terhadap istri
Berikut ini beberapa kewajiban suami
terhadap istri:
a) Suami membimbing istri dan rumah tangganya.
b) Suami wajib melindungi istri dan memberikan
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c) Suami wajib memberikan pendidikan agama
kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna.
d) Suami wajib memberikan nafkah kepada
istrinya.
Berikut hadis yang menjelaskan Kewajiban memberi
nafkah:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ العاص
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ (حَدِيْثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ)
Artinya: Dari
Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya cukup dianggap berdosa apabila ia menyia-nyiakan orang yang harus
diberi belanja.” (Hadis hasan shahih riwayat Abu Dawud dan selainnya)[1]
F. Hak dan kewajiban istri terhadap suami
1. Kewajiban istri terhadap suami
a) Taat dan patuh kepada suami.
b) Mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan baik.
c) Menghormati keluarga suami.
d) Tidak mempersulit suami dan selalu
mendorong suami untuk maju.
e) Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan
suami.
2. Hak istri atas suami
a)
Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir dari
suami.
b)
Menerima maskawin dari suami ketika menikah.
c)
Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh
suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga.
d)
Mendapat penjagaan, perlindungan dan perhatian
suami agar terhindar dari hal-hal buruk.
BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan adalah perkawinan,dalam arti
hubungan yang terjalin antara suami dengan ikatan hukum islam, dengan memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun perkikahan. Pernikahan merupakan seruan agama
yang harus dijalankan oleh manusia yang mampu untuk berkeluarga. Bagi para
pemuda yang tidak sanggup memelihara rumah tangga atau tidak mempunyai
kemampuan untuk menikah, hendaknya ia berpuasa. Menikah merupakan suatu
kewajiban yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, gunanya untuk menghindarkan
kita kepada jalan kemaksiatan. Menikah juga merupakan sarana untuk memperoleh
keturunan.
Rasullulah saw memberiakan kriteria melilih
calon istri yaitu berdasarkan agamanya bukan karena hartanya, kedudukannya
maupun kecantikannya. Kriteria
calon suami bagi wanita muslimah, yaitu lelaki yang seagama, lelaki yang kuat
agamanya , lelaki yang berpengetahuan luas dan lelaki yang mampu membiayai
hidup keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakata: Kencana.
Ibnu Hajar Al
Asqalani. 2003. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari juz 25. Penerjemah: Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azam.
Khon, Abdul
Majid. 2012. Hadis Tarbawi: Hadis-Hadis Pendidikan. Jakarta: Kencana
Nawawi, Imam.
2013. Terjemah Riyadhus Shalihin Jilid 1. Jakarta: Pustaka Amani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar