Rabu, 18 November 2015

Hadis Pernikahan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan cara yang dilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang bak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai denan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai.
Dengan demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan supaya dapat halal harus melalui pernikahan. Didalam pernikahan menjelaskan kewajiban umat manusia untuk melangsungkan pernikahan. Maka pemakalah akan menyajikan mengenai hadis yang menjelaskan masalah pernikahan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hadis yang menjelaskan mengenai pernikahan?
2.      Apa pengertian pernikahan?
3.      Apa tujuan pernikahan?
4.      Seperti apa kriteria calon pasangan hidup?
5.      Apa saja hak dan kewajiban suami istri?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pernikahan
Hubungan antara laki-laki dan perempuan supaya dapat halal harus melalui pernikahan. Menurut hukum Islam, terdapat beberapa definisi mengenai pernikahan, salah satunya ialah, perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan  bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zariyat: 49.
Artinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT.” (QS. Az-Zariyat:49)
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inlah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.
Dalam berkeluarga yang baik menurut Islam sangat menjunjung untuk menuju kepada kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki. Islam menganjurkan orang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi SAW. Riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Ibn Abbas:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَا ءَةَ فَلْيَتَزَ وَّجْ فَأِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. (رواه البخار ومسلم عن عباس)
Artinya: “Hai para pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan
Berikut ini hadis anjuran menikah lainnya:
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ : كُنْتُ مَعَ عَبْدِاللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى فَقَالَ : يَاأَبَا عَبْدِالرَّحْمنِ اِنَّ لِى اِلَيْكَ حَاجَةً, فَخَلَيَا, فَقَالَ عُثْمَانُ: هَلْ لَكَ يَاأَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِى اَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَاكُنْتَ تَعْهَدُ؟ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُاللهِ اَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ اِلَى هذَا اَشَارَ اِلَيّ فَقَالَ : يَاعَلْقَمَةُ: فَانْتَهَيْتُ اِلَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: "يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ".
Artinya: “Dari Alqamah, dia berkata: Aku bersama Abdullah, lalu dia ditemui Utsman di Mina dan dia berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya aku memiliki kepentingan denganmu.” Maka keduanya pun menyingkir ke tempat sepi. Utsman berkata, “Apakah engkau mau wahai Abdurrahman kami nikahkan dengan gadis yang dapat mengingatkanmu akan apa yang biasa padamu dahulu?” ketika Abdullah melihatnya tidak membutuhkan hal itu, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya berkata, “Wahai Alqamah.” Aku menuju kepadanya dan dia berkata, “Ketahuilah, sekiranya engkau mengatakan itu maka sungguh Nabi SAW telah bersabda kepada kami, ‘Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu al baa’ah maka hendaklah menikah, dan barangsiapa tidak mampu maka hendaklah berpuasa, sesungguhnya puasa itu menjadi perisai baginya’.”
Al-Jaziru mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’, adakalanya wajib, haram, makruh, sunah dan mubah.
1.      Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandanya tidak segera menikah. Maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang.
2.      Melakukan perkawinan yang hukumnya sunah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melaksanakan pernikahan bagi orang tersebut adalah sunnah.
3.      Melakukan perkawinan yang hukumnya haram
Bagi orang yang tidak memunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab  untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikan akan terlantarlah dirinya dan istrinya.
4.      Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Bagi orang yang mempunyai kemapuan untuk melakukan pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan utnuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak menikah. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
5.      Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan melantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
 

B.     Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Jadi aturan pernikahan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan pernikahan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.
Menurut Al-Ghazali, sebagai sunnah Nabi pernikahan mempunyai tujuan yang dikembangkan menjadi 5, yaitu:
1.      Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
Naluri manusia memunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam. Kehidupan keluarga bahagia umumnya ditentukan oleh kehadiran anak-anak.
Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu dalam hidup di dunia, bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti.

2.      Memenuhi hajat manusia manyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan. Disamping pernikahan untuk naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.

3.      Memenuhi panggilan agama, memelihara dari kejahatan dan kerusakan.
Sesuai dengan surat Ar-Rum ayat 21  bahwa ketenangan hidup dan cinta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan melalui pernikahan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan pernikahan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan keruskaan, baik kerusakan dirinya sendiri maupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan....
Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perulah menyalurkannya dengan baik, yakni dengan pernikahan. Pernikahan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau mengembalikan gejolak nafsu seksual, seperti dalam hadis Nabi SAW:
... فَاِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ...
... Sesungguhnya pernikahan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan ...

4.      Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belum berkeluarga tindakannya sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Misalnya dalam bekerja, akan lebih bersunggunh-sungguh untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga rumah.
Suami istri yang pernikahannya didasarkan pada pengamalan agama, jerih payah dalam usahanya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibinanya dengan demikian dapat menimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta yang halal.

5.      Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui pernikahan. Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat.

C.    Kriteria memilih istri
Rasulullah SAW bersabda :
تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَاوَجَماَ لِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَة
Artinya: “Wanita itu dinikahi karena 4 perkara: “karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih (perempuan) yang beragama, niscaya kamu akan beruntung”.(Muttafaq ‘Alaih dan imam tujuh)
1.      Karena hartanya
Di dalam hadis ini seorang laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan untuk memilih calon istri berdasarkan hartanya. Karena dengan harta mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup keluaganya. Dengan harta pula mereka tidak akan kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta bisa menyisihkan sedikit hartanya untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam hadis juga diterangkan jika harta itu milik istri maka suami boleh menggunakan harta tersebut dengan izin istri. Berbeda halnya dengan harta milik suami, istri berhak memakainya karena pada dasarnya suami wajib memeberi nafkah kepada istri. Namun makruh hukumnya jika seorang laki-laki memilih calon istri berdasarkan  hartanya, karena dikhawatirkan dengan harta istri bisa menurunkan kehormatan suami.

2.      Karena keturunannya
Anjuran berikutnya memilih calon pasangan berdasarkan nasabnya. Nasab disini bisa diartikan menjadi dua makna yaitu, keturunan dan derajat atau pangkat. Jika dilihat dari keturunan, maka seseorang yang akan memilih jodohnya harus mengetahui asal-usul kelahiran Si calon dari ayah dan kerabat dekatnya yang satu nasab. Dengan mengetahui nasab atau keturunannya maka tidak akan menimbulkan fitnah.
Nasab dilihat dari derajat atau pangkat kemuliaan. Dengan memilih wanita yang memiliki derajat atau pangkat maka bisa mengangkat kehormatan dirinya. Namun, laki-laki yang menikahi seorang perempuan berdasarkan kehormatannya saja, juga dihinakan oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:  “Barang siapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah baginya kecuali kehinaan.”

3.      Karena kecantikannya
Memilih wanita dari kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita yang cantik itu enak dipandang. Akan tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah dengan wanita yang sangat cantik malah justru akan menimbulkan keresahan pada suaminya, bahkan takut menimbulkan fitnah.

4.      Karena agamanya
Memilih perempuan untuk dinikahi berdasarkan agamanya adalah yang paling pokok yang dianjurkan oleh Nabi saw. Memilih wanita dari agamanya, karena wanita yang baik agamanya dapat memberikan manfaaat dunia dan akhirat. Pasangan hidup membangun suatu rumah tangga yang bahagia juga sangat ditentukan oleh akhlak dan agamanya. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak yang baik (wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat di atur dalam keluarga, serta wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun keadaannya. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam.
Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau.

D.    Kriteria memilih suami
Bagi para wanita haruslah berhati-hati dalam memilih suami, karena disini suami nyalah ditentukan kebahagiaan dan keamanannya. Maka dari itu,dalam memilih calon suami wanita harus mempertimbangkan beberapa hal yang ada dalam diri calon suami yang akan dipilih. Berikut kriterianya:
1.      Lelaki yang seagama
Dalam ajaran agama, muslimah diharamkan menikah dengan lelaki non muslim, karena wanita akan sulit melaksanakan ibadahnyaa,anak akan bingung memilih agama siapa dan sulitnya hubungan persaudaraan.
2.      Lelaki yang kuat agamanya
Dalam memilih calon suami, wanita heendaknya memilih lelaki yang iman dan taqwanya melebihi dirinya,karena suami adalah pemimpin.
3.      Lelaki yang berpengetahuan Luas
Tugas suami adalah memimpin keluarganya menuju Ridho Allah swt. Dan untuk mendidik istri dan anak agar taat dan patuh terhadap syari’at islam bukanlah hal yang mudah. Untuk itu diperlukan ilmu dan wawasan yang luas. Ilmu dan wawasan disini bukan hanya dalam masalah agama tetapi juga umum.
4.      Lelaki yang mampu membiayai hidup
Islam melarang lelaki yang belum mampu membiayai kebutuhan rumah tangga menikah. Hal ini dikarenakan pemenuhan kebutuhan merupakan awal dari terwujudnya rumah tangga yang harmonis sebalikny, islam menganjurkan lelaki yang sudah mampu untuk segera menikah.

E.     Hak dan kewajiban suami terhadap istri
1.      Hak suami atas istri
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْكُنْتُ اَمِرًا أَحَدًا أّنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لَزَوْجِهَا (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ).
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW., beliu bersabda: “Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang niscaya aku menyuruh seorang isteri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “Ini Hadis Hasan Shahih.”)
Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami menyuruh istri untuk berbuat maksiat, maka istri harus menolaknya. Diantara ketaatan istri kepada suami adalah tidak keluar rumah, kecuali dengan seizinnya.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 dijelaskan bahwa istri harus bisa menjaga dirinya, baik ketika berada di depan suami maupun di belakangnya, dan ini merupakan salah satu ciri istri yang shalihah.
Artinya: “Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara mereka ... (QS. An-Nisa’: 34)
Maksud memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya dalam ayat tersebut adalah istri dalam menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada dan tidak berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta bendanya. Inilah salah satu kewajiban bagi seorang istri terhadap suaminya.
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya:
a)      Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat.
b)      Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
c)      Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
d)     Tidak bermuka masam terhadap suami.
e)      Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.

2.      Kewajiban suami terhadap istri
Berikut ini beberapa kewajiban suami terhadap istri:
a)      Suami membimbing istri dan rumah tangganya.
b)      Suami wajib melindungi istri dan memberikan keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c)      Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna.
d)     Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya.
Berikut hadis yang menjelaskan Kewajiban memberi nafkah:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ العاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ (حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ)
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya cukup dianggap berdosa apabila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi belanja.” (Hadis hasan shahih riwayat Abu Dawud dan selainnya)[1]

F.     Hak dan kewajiban istri terhadap suami
1.      Kewajiban istri terhadap suami
a)      Taat dan patuh kepada suami.
b)      Mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baik.
c)      Menghormati keluarga suami.
d)     Tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk maju.
e)      Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.

2.      Hak istri atas suami
a)      Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir dari suami.
b)      Menerima maskawin dari suami ketika menikah.
c)      Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga.
d)     Mendapat penjagaan, perlindungan dan perhatian suami agar terhindar dari hal-hal buruk.


 
BAB III
KESIMPULAN

Pernikahan adalah perkawinan,dalam arti hubungan yang terjalin antara suami dengan ikatan hukum islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun perkikahan. Pernikahan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia yang mampu untuk berkeluarga. Bagi para pemuda yang tidak sanggup memelihara rumah tangga atau tidak mempunyai kemampuan untuk menikah, hendaknya ia berpuasa. Menikah merupakan suatu kewajiban yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, gunanya untuk menghindarkan kita kepada jalan kemaksiatan. Menikah juga merupakan sarana untuk memperoleh keturunan.
Rasullulah saw memberiakan kriteria melilih calon istri yaitu berdasarkan agamanya bukan karena hartanya, kedudukannya maupun kecantikannya. Kriteria calon suami bagi wanita muslimah, yaitu lelaki yang seagama, lelaki yang kuat agamanya , lelaki yang berpengetahuan luas dan lelaki yang mampu membiayai hidup keluarganya.
  

DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakata: Kencana.
Ibnu Hajar Al Asqalani. 2003. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari juz 25.  Penerjemah: Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azam.
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi: Hadis-Hadis Pendidikan. Jakarta: Kencana
Nawawi, Imam. 2013. Terjemah Riyadhus Shalihin Jilid 1. Jakarta: Pustaka Amani.



[1] Imam Nawawi. Terjemah Riyadhus Shalihin Jilid 1. ( Jakarta: Pustaka Amani, 2013). Hlm 262

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...