Muslim
di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku.
Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani
dan kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand
saat ini telah menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan
komunitas Thailand dari beberapa abad yang lalu. Secara historis, kultur dan
ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand selatan telah mengalami
peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka tetap
berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal
itu berangkat dari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas
melayu Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh
Siam atau Thailand. Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan
Thailand menjadi negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh
komunitas yang lainnya. Hal ini memunculkan era baru antara muslim-pemerintah
yang memberikan ruang lebih luas bagi umat muslim Thailand merambah dunia
politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari pertumbuhan masjid di Thailand yang
berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144 masjid, Narathiwat 447 masjid,
Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid, Satun 147 masjid. Dan
beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Biarpun begitu, minoritas muslim
Thailand masih jauh dari kelapangan dalam hidup. Karena mereka tetap menjadi
minoritas yang mendapatkan tekanan dan diskriminasi yang tak henti henti.
Thailand
dikenal sebagai sebuah negara yang pandai menjual potensi pariwisata sekaligus
sebagai salah satu negara agraris yang cukup maju di Asia Tenggara. Mayoritas
penduduk Thailand adalah bangsa Siam, Tionghoa dan sebagian kecil bangsa
Melayu. Jumlah kaum muslimin di Thailand memang tidak lebih dari 10% dari total
65 juta penduduk, namun Islam menjadi agama mayoritas kedua setelah Buddha.
Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan Thailand,
seperti di propinsi Pha Nga, Songkhla, Narathiwat dan sekitarnya yang dalam
sejarahnya adalah bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Kultur melayu sangat
terasa di daerah selatan Thailand, khususnya daerah teluk Andaman dan beberapa
daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Bahkan beberapa nama daerah
berasal dari bahasa Melayu, seperti Phuket yang berasal dari kata “bukit” dan
Trang yang berasal dari kata “terang”.
Islam
masuk ke Thailand sejak pertengahan abad ke-19. Proses masuknya Islam di
Thailand dimulai sejak kerajaan Siam mengakui sisi kerajaan Pattani Raya (atau
lebih dikenal oleh penduduk muslim Thailand sebagai Pattani Darussalam).
Pattani berasal dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan atau cerdik
karena di tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim terkenal.
Berbagai golongan masyarakat dari tanah Jawa banyak pula yang menjadi pengajar
Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawi. Beberapa kitab Arab Jawi
sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah muslim dan pesantren di
Thailand Selatan.
Perkembangan
Islam di Thailand semakin pesat saat beberapa pekerja muslim dari Malaysia dan
Indonesia masuk ke Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka membantu
kerajaan Thailand membangun beberapa kanal dan sistem perairan di Krung Theyp
Mahanakhon (sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok). Beberapa keluarga
muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid sebagai sarana
ibadah.
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah kerajaan Thailand memberi
kebebasan yang sebesar-besarnya bagi kaum muslim Thailand untuk melaksanakan
ibadah dan berdakwah. Dukungan dari pemerintah kerajaan terhadap pembangunan
pondok-pondok pesantren dan sekolah muslim pun melengkapi jaminan kebebasan
beribadah kaum muslim di Thailand. Namun demikian, tidak semua lokasi di Thailand
menjadi tempat yang aman untuk kaum muslimin.
Daerah
Thailand selatan sampai saat ini masih menjadi daerah yang mencekam karena
hampir setiap hari operasi militer digelar di kampung-kampung penduduk dengan
alasan mencari dalang peledakan bom di wilayah selatan. Propinsi Yala, Songkhla
dan Narathiwat adalah tiga wilayah di Thailand selatan yang akrab dengan bahasa
kekerasan tentara pemerintah. Kecurigaan yang berlebihan terhadap penduduk
muslim seringkali membuat para tentara mudah melepaskan peluru dari
senapan-senapan mereka. Walhasil, kasus salah tembak menjadi salah satu kasus
yang cukup populer di wilayah ini. Meskipun senantiasa diliputi rasa khawatir
terhadap keamanan mereka, kaum muslimin di Thailand selatan tetap istiqomah
mendidik generasi muda Islam.
Semarak
dakwah Islam juga dirasakan oleh masyarakat dan pelajar muslim Indonesia.
Kajian bapak-bapak, ibu-ibu, TPA/TKA dan kajian mingguan mahasiswa adalah
beberapa kegiatan rutin yang diadakan mingguan. Masyarakat dan Pelajar Muslim
Indonesia juga mengadakan silaturrahim bulanan dalam forum pengajian Ngajikhun.
Acara ini dilaksanakan di berbagai wilayah di seantero Thailand. Tak jarang,
rekan-rekan di Bangkok harus menempuh perjalanan sehari penuh untuk
bersilaturrahim dengan pelajar muslim di Chiang Rai, Thailand utara. Hal serupa
pernah dilakukan saat beberapa mahasiswa dari daerah Hat Yai, Thailand selatan
berkunjung ke Bangkok. Mereka menempuh perjalanan selama 2 jam dengan
menggunakan jalur udara atau kurang lebih sehari penuh dengan jalur darat.
Isu-isu
seputar makanan halal sering menjadi bahan diskusi yang menarik di kalangan
masyarakat dan pelajar muslim Indonesia di Thailand. Meskipun majelis ulama
Thailand sudah memiliki badan khusus yang memverifikasi kehalalan produk dalam
negeri Thailand, jumlah makanan halal di Thailand masih sangat sedikit.
Biasanya, masyarakat dan pelajar muslim Indonesia mengenali warung muslim dan
makanan halal dengan tiga macam label, yakni label resmi “Halal”, stiker
bertuliskan “Allah” dan “Muhammad”, serta stiker bertuliskan bacaan basmalah.
Tak jarang para pemilik warung muslim menambahkan tanda bulan dan bintang untuk
mempertegas informasi kehalalan makanan tersebut.
Informasi
tentang makanan halal dan istilahnya dalam bahasa Thailand biasanya menjadi
kebutuhan pertama saat datang ke negeri gajah putih ini. Selain berbekal
informasi lokasi warung halal di daerah Bangkok dan sekitarnya, saya juga
menghafal beberapa kata dalam bahasa Thailand untuk menghindari babi, seperti
“Phom mai ouw muu” yang berarti “Saya tidak mau babi” atau “Phom mai kin muu”
yang berarti “Saya tidak makan babi” apabila saya kesulitan menemukan warung
halal di lokasi terdekat.
Selain
masalah makanan, lokasi tempat ibadah di pusat-pusat perbelanjaan pun agak
sulit ditemukan. Beberapa lokasi perbelanjaan umum, seperti Siam Paragon,
Pratunam Center dan Central World menyediakan mushola untuk umat Islam.
Selebihnya, jangan harap bisa menemui mushola di tempat umum. Bagi saya dan
rekan-rekan pelajar muslim Indonesia, membawa kompas penunjuk arah dan sajadah
saat bepergian adalah kebutuhan.
Dua
hal ini sangat penting apabila bepergian di daerah-daerah minim mushola dan
masjid. Hidup di tengah-tengah umat non-muslim memberi pelajaran berharga
tentang tepat waktu dan displin menegakkan ibadah wajib meskipun tidak ada
adzan yang berkumandang. Demikian pula dengan pelajaran lainnya, keimaman kita
benar-benar akan diuji di sini. Kita bisa dengan mudah menemui berbagai tempat
penjualan makanan yang mengandung babi atau darah, hiburan malam, penjualan
minuman beralkohol, maupun wisata seks di Thailand.
Masyarakat
Buddha Thailand pada umumnya menganggap tabu masalah prostitusi, namun
pelanggaran yang ada di depan mata tak bisa dicegah karena mereka tak mengenal
sistem syari’at, iqob (hukuman), dan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana dalam
Islam. Oleh karena itulah, penjualan minuman keras dan prostitusi sangat marak
di negeri ini. Bahkan dua hal tersebut menjadi salah satu daya tarik wisatawan
mancanegara yang berkunjung ke Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar