Selasa, 02 Desember 2014

RIDHA



A.    Pengertian Ridha
Ridha berasal dari bahasa Arab “ radhi-yardha-ridhan-wa ridhwaanan “ yang telah terserap ke dalam bahasa indonesia dan dalam kamus besar Indonesia, kata tersebut diartikan: ”Rela, suka, dan senang hati”. Sessungguhnya setiap muslim harus meyakini bahwa: Allah tidak memberikan jalan kepada-Nya bagi orang yang benci atau menggerutu. Allah mensyaratkan bagi orang yang menuju kepada-Nya agar memiliki hati yang ridha. Jadi Ridha adalah ketetapan hati untuk menerima segala keputusan yang sudah ditetapkan. Ridha merupakan akhir, tidak mencari atau memikirkan sesuatu yang baik, dimanapun hamba berada, tidak mencari atau memikirkan sesuatu yang lain kecuali menerima apa yang ada, tidak meminta tambahan sesuatu yang sudah ada, dan tidak meminta sesuatu yang diinginkan saja, tetapi menerima segala sesuatu yang telah ada ataupun yang terjadi.
B.     Karakteristik Sikap Ridha
Menurut pendapat ahli hikmah, ridha diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu: 1) Ridha kepada Allah, 2)Ridha kepada apa yang datang dari Allah, dan 3) Ridha kepada qada’ dan qadar Allah
1.      Makna ridha terhadap allah sebagai tuhan ialah merasa benci terhadap peribadatan kepada selain-Nya. Ini adalah ridha terhadap allah sebagai llah, dan ini termasuk kesempurnaan ridha kepada allah sebagai rabb(Tuhan Pencipta dan Penguasa alam semesta). Karena itu, barang siapa ridha kepada Allah sebagai Tuhan dengan sebenar-benarnya niscaya dia membenci peribadatan selain-Nya. Firman Allah :
Artinya: Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. ( Al-an’am : 164).

2.      Manusia harus ridha dengan apa yang datang dari allah, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Apabila seseorang tidak ridha kepada apa yang datang dari allah, berarti ia benci kepada-Nya, karena tidak ada kondisi pertengahan antara ridha dan benci. Sedangkan kebencian hamba kepada tuhannya menghilangkan keridhaannya terhadap-Nya sebagai Rabb.
3.      Ridha terhadap qada’ dan qadar allah. Sesungguhnya pilihan allah untuk hamba-Nya ada dua macam: Pertama, (iktiar addin wa syar’i) pilihan keagamaan dan syari’at. Hamba diwajibkan tidak memilih selain apa yang dipilihkan oleh Tuhannya untuknya yaitu islam sebagai agama. Pilihan hamba yang bertentangan dengan ketetapan(aga ma dan syari’at) itu meniadakan keimanan dan meniadakan keridhaannya kepada Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya. Dan ulama’ lain menanamakan manusia adalah makhluk musayyar sama seperti benda, tanam-tanaman dan hewan: artinya tidak mempunyai kebiasaan untuk menerima atau menolak, semuanya telah dibentuk dan ditentukan Contoh lain hal-hal yang manusia tidak memiliki ikhtiar, misalnya tentang kelahirannya di dunia sebagi laki-laki atau perempuan , anak dari si fulan bukan falan, gerak-gerik refleks organ tubuhnya, warna kulitnya, ukuran tubuhnya tinggi atau pendek, kematiannya, dan lain- lain  sebagainya yang manusia sama sekali tidak punya hak menerima atau menolak. Untuk hal-hal seperti itu Allah SWT sama sekali tidak pernah meminta pertanggungjawaban. Dan manusia harus ridha menerimanya. Kedua, ikhtiar kauni qadari (pilihan  yang berkenan dengan alam dan takdir), yang diperbolehkan oleh Tuhan, seperti musibah yang ditimpakan Allah kepada hamba-Nya. Tidaklah berbahaya jika hamba berlari darinya menuju takdir yang dapat menghilang, menolak, dan menghapuskannya. Dan dalam ilmu kalam biasa disebut sebagai manusia sebagai makhluk mukhayyar, artinya memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak.
Muhammad As-Shaleh Al-Utsaimin mengemukakan beberapa dalil yang membuktikan bahwa manusia memiliki hak ikhtiar:
1.         Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan secara eksplisit tentang adanya masyiah dan iradah manusia seperti dalam firman-Nya (At-Taubah 9:46)
2.         Adanya perintah dan larangan Allah SWT terhadap hamba-Nya tentu berdasarkan pertimbangan dia dapat memilih , sebagaimana firman-Nya (Al-Baqarah 2:286).
3.         Allah SWT memuji orang-orang yang berbuat baik, mencela orang-orang yang berbuat jahat, dan memberikan balasan yang sesuai bagi keduannya. Kalau sekiranya perbuatan manusia bukan berdasarkan kehendak dan ikhtiarnya tentu pujian itu tidak ada artinya, dan hukuman terhadap orang yang berbuat jahat adalah suatu kezaliman, karena itu Allah SWT mustahil melakukan keduanya.
4.         Allah SWT telah mengutus para Rasul untuk menjadi mubasyrin dan munzirin, supaya tidak ada alasan (hujjah) lagi bagi umat manusia untuk membantah Allah sesudah diutus para Rasul. Kalaulah perbuatan manusia terjadi bukan atas ikhtiar-Nya, maka diutus Rasul-Rasul tidak dapat dijadikan hujjah bagi manusia.
5.         Dalam kehidupan sehari-hari manusia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri, tanpa merasakan ada sesuatu yang memaksanya. Misalnya dia berdiri, duduk, berjalan, makan, minum, tidur dan lain-lain sebagainya dengan kemauannya.
Sangat bisa dibedakan mana perbuatan yang dilakukan dengan terpaksa dan mana yang dilakukan  atas kemauannya sendiri. Bahkan jelas pula islam menegaskan tidak akan meminta pertanggungjawaban dari seseorang yang melakukan sesuatu dengan terpaksa. Dengan demikian jelaslah bahwa: untuk hal-hal yang bersifat ikhtiyari, seseorang tidak bisa menjadikan takdir sebagai alasan untuk menghindari dari tanggung jawab. Allah SWT mencela sikap orang-orang musyrikin yang mencoba berdalih bahwa kemusyrikan yang mereka lakukan itu hanyalah semata- mata karena kehendak Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am 6 : 148.
  1. Nilai Positif Ridha
Seorang muslim harus ridha kepada Allah, karena seorang muslim menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya serta Allah-lah mengelola dan memelihara semuanya itu. Dengan rahmat-Nya. Dia menyerahkan semua yang diperlukan oleh umat manusia jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Dengan Rahim-Nya Dia menyediakan segala kenikmatan khusus bagi orang-orang yang beriman sampai Hari Akhir nanti. Demikianlah Allah yang maha Pengasih lagi Maha Penyanyang.
Kemudian seorang muslim juga harus ridha kepada Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Artinya, Allah dan Rasul-Nya sebagai pilihan yang harus diperjuangkan sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya. Setiap muslim berkewajiban  untuk menerima segala ketentuan dan ketetapan Allah ataupun Rasul-Nya sebagaimana adanya. Artinya penerimaan seorang muslim terhadap ketentuan Allah harus mengikuti teladan Rasulullah artinya sesuai dengan di contohkan Rasulullah.
 Sebagai ilustrasi seorang anak yang ridha kepada ibu bapak (abaukum) sebagai wujud ridha kepada nenek moyang mereka. Di antara salah satu bentuk ridha kepada nenek moyang tersebut adalah melestarikan tradisi yang diwarisi dari mereka secara turun-menurun. Di antara tradisi tersebut apabila ada yang mengandung unsur syirik, atau yang melanggar syari’at islam. Dan anak tersebut tetap saja melakukannya, dengan alasan sudah menjadi tradisi, maka ridha kepada nenek moyang dapat menimbulkan kehinaan.
Rasulullah saw, menerangkan bahwa seseorang akan merasakan kemanisan iman tatkala dia mampu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala-galanya.” Barang siapa yang terdapat padanya tiga perkara, maka dia akan merasakan manisnya iman yaitu : 1.Ridha kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi ridhanya kepada yang lain-lain; 2. Ridha kepada manusia karena ridha kepada Allah semata-mata; 3. Membenci kepada kufur seperti kebenciannya bila dilemparkan ke dalam api neraka.”(H.R. Bukhari dan Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...