A.
Pengertian Ridha
Ridha berasal dari bahasa Arab “ radhi-yardha-ridhan-wa ridhwaanan “ yang
telah terserap ke dalam bahasa indonesia dan dalam kamus besar Indonesia, kata
tersebut diartikan: ”Rela, suka, dan senang hati”. Sessungguhnya setiap muslim
harus meyakini bahwa: Allah tidak memberikan jalan kepada-Nya bagi orang yang
benci atau menggerutu. Allah mensyaratkan bagi orang yang menuju kepada-Nya
agar memiliki hati yang ridha. Jadi Ridha adalah ketetapan hati untuk menerima
segala keputusan yang sudah ditetapkan. Ridha merupakan akhir, tidak mencari
atau memikirkan sesuatu yang baik, dimanapun hamba berada, tidak mencari atau
memikirkan sesuatu yang lain kecuali menerima apa yang ada, tidak meminta
tambahan sesuatu yang sudah ada, dan tidak meminta sesuatu yang diinginkan
saja, tetapi menerima segala sesuatu yang telah ada ataupun yang terjadi.
B.
Karakteristik Sikap
Ridha
Menurut pendapat ahli hikmah, ridha
diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu: 1) Ridha kepada Allah, 2)Ridha
kepada apa yang datang dari Allah, dan 3) Ridha kepada qada’ dan qadar Allah
1. Makna ridha terhadap
allah sebagai tuhan ialah merasa benci terhadap peribadatan kepada selain-Nya.
Ini adalah ridha terhadap allah sebagai llah, dan ini termasuk kesempurnaan
ridha kepada allah sebagai rabb(Tuhan Pencipta dan Penguasa alam semesta).
Karena itu, barang siapa ridha kepada Allah sebagai Tuhan dengan
sebenar-benarnya niscaya dia membenci peribadatan selain-Nya. Firman Allah :
Artinya: Katakanlah:
"Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi
segala sesuatu. ( Al-an’am : 164).
2. Manusia harus ridha
dengan apa yang datang dari allah, baik dalam bentuk perintah maupun larangan.
Apabila seseorang tidak ridha kepada apa yang datang dari allah, berarti ia
benci kepada-Nya, karena tidak ada kondisi pertengahan antara ridha dan benci.
Sedangkan kebencian hamba kepada tuhannya menghilangkan keridhaannya
terhadap-Nya sebagai Rabb.
3. Ridha terhadap qada’
dan qadar allah. Sesungguhnya pilihan allah untuk hamba-Nya ada dua macam:
Pertama, (iktiar addin wa syar’i) pilihan keagamaan dan syari’at. Hamba
diwajibkan tidak memilih selain apa yang dipilihkan oleh Tuhannya untuknya
yaitu islam sebagai agama. Pilihan hamba yang bertentangan dengan ketetapan(aga
ma dan syari’at) itu meniadakan keimanan dan meniadakan keridhaannya kepada
Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya. Dan
ulama’ lain menanamakan manusia adalah makhluk musayyar sama seperti benda,
tanam-tanaman dan hewan: artinya tidak mempunyai kebiasaan untuk menerima atau
menolak, semuanya telah dibentuk dan ditentukan Contoh lain hal-hal yang
manusia tidak memiliki ikhtiar, misalnya tentang kelahirannya di dunia sebagi
laki-laki atau perempuan , anak dari si fulan bukan falan, gerak-gerik refleks
organ tubuhnya, warna kulitnya, ukuran tubuhnya tinggi atau pendek,
kematiannya, dan lain- lain sebagainya
yang manusia sama sekali tidak punya hak menerima atau menolak. Untuk hal-hal
seperti itu Allah SWT sama sekali tidak pernah meminta pertanggungjawaban. Dan
manusia harus ridha menerimanya. Kedua, ikhtiar kauni qadari (pilihan yang berkenan dengan alam dan takdir), yang diperbolehkan
oleh Tuhan, seperti musibah yang ditimpakan Allah kepada hamba-Nya. Tidaklah
berbahaya jika hamba berlari darinya menuju takdir yang dapat menghilang,
menolak, dan menghapuskannya. Dan dalam ilmu kalam biasa disebut sebagai
manusia sebagai makhluk mukhayyar, artinya memiliki kebebasan untuk menerima
atau menolak.
Muhammad As-Shaleh Al-Utsaimin
mengemukakan beberapa dalil yang membuktikan bahwa manusia memiliki hak ikhtiar:
1.
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan
secara eksplisit tentang adanya masyiah dan iradah manusia seperti dalam
firman-Nya (At-Taubah 9:46)
2.
Adanya perintah dan larangan Allah SWT
terhadap hamba-Nya tentu berdasarkan pertimbangan dia dapat memilih ,
sebagaimana firman-Nya (Al-Baqarah 2:286).
3.
Allah SWT memuji orang-orang yang berbuat
baik, mencela orang-orang yang berbuat jahat, dan memberikan balasan yang
sesuai bagi keduannya. Kalau sekiranya perbuatan manusia bukan berdasarkan
kehendak dan ikhtiarnya tentu pujian itu tidak ada artinya, dan hukuman
terhadap orang yang berbuat jahat adalah suatu kezaliman, karena itu Allah SWT
mustahil melakukan keduanya.
4.
Allah SWT telah mengutus para Rasul untuk
menjadi mubasyrin dan munzirin, supaya tidak ada alasan (hujjah) lagi bagi umat
manusia untuk membantah Allah sesudah diutus para Rasul. Kalaulah perbuatan
manusia terjadi bukan atas ikhtiar-Nya, maka diutus Rasul-Rasul tidak dapat
dijadikan hujjah bagi manusia.
5.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri,
tanpa merasakan ada sesuatu yang memaksanya. Misalnya dia berdiri, duduk,
berjalan, makan, minum, tidur dan lain-lain sebagainya dengan kemauannya.
Sangat bisa dibedakan mana perbuatan yang
dilakukan dengan terpaksa dan mana yang dilakukan atas kemauannya sendiri. Bahkan jelas pula
islam menegaskan tidak akan meminta pertanggungjawaban dari seseorang yang
melakukan sesuatu dengan terpaksa. Dengan demikian jelaslah bahwa: untuk
hal-hal yang bersifat ikhtiyari, seseorang tidak bisa menjadikan takdir sebagai
alasan untuk menghindari dari tanggung jawab. Allah SWT mencela sikap
orang-orang musyrikin yang mencoba berdalih bahwa kemusyrikan yang mereka
lakukan itu hanyalah semata- mata karena kehendak Allah SWT. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-An’am 6 : 148.
- Nilai Positif Ridha
Seorang muslim harus ridha kepada Allah,
karena seorang muslim menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta
dan seluruh isinya serta Allah-lah mengelola dan memelihara semuanya itu.
Dengan rahmat-Nya. Dia menyerahkan semua yang diperlukan oleh umat manusia jauh
sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Dengan Rahim-Nya Dia menyediakan segala
kenikmatan khusus bagi orang-orang yang beriman sampai Hari Akhir nanti.
Demikianlah Allah yang maha Pengasih lagi Maha Penyanyang.
Kemudian seorang muslim juga harus ridha
kepada Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Artinya, Allah dan Rasul-Nya sebagai
pilihan yang harus diperjuangkan sesuai dengan syariat yang telah
diturunkan-Nya. Setiap muslim berkewajiban
untuk menerima segala ketentuan dan ketetapan Allah ataupun Rasul-Nya
sebagaimana adanya. Artinya penerimaan seorang muslim terhadap ketentuan Allah
harus mengikuti teladan Rasulullah artinya sesuai dengan di contohkan
Rasulullah.
Sebagai ilustrasi seorang anak yang ridha
kepada ibu bapak (abaukum) sebagai wujud ridha kepada nenek moyang mereka. Di
antara salah satu bentuk ridha kepada nenek moyang tersebut adalah melestarikan
tradisi yang diwarisi dari mereka secara turun-menurun. Di antara tradisi
tersebut apabila ada yang mengandung unsur syirik, atau yang melanggar syari’at
islam. Dan anak tersebut tetap saja melakukannya, dengan alasan sudah menjadi
tradisi, maka ridha kepada nenek moyang dapat menimbulkan kehinaan.
Rasulullah saw, menerangkan bahwa
seseorang akan merasakan kemanisan iman tatkala dia mampu mencintai Allah dan
Rasul-Nya lebih dari segala-galanya.” Barang siapa yang terdapat padanya tiga
perkara, maka dia akan merasakan manisnya iman yaitu : 1.Ridha kepada Allah dan
Rasul-Nya melebihi ridhanya kepada yang lain-lain; 2. Ridha kepada manusia
karena ridha kepada Allah semata-mata; 3. Membenci kepada kufur seperti
kebenciannya bila dilemparkan ke dalam api neraka.”(H.R. Bukhari dan Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar