1. Pengertian
ilmu kalam
Ilmu Kalam
adalah salah satu bentuk ilmu keislaman Kajian dalam ilmu kalam terfokus pasa
aspek ketuhanan (devesivasinya) atau bentuk karena itu disebut teologi
dialetika, dan rasional. Secara harfiah kata kalam artinya pembicaraan tetapi
bukan dalam arti pembicaraan sehari-hari (omongan) melainkan pembicaraan yang
bernalar dan logika (akal).
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membahas soal-soal keimanan yang sering juga disebut Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin.
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membahas soal-soal keimanan yang sering juga disebut Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin.
A. Beberapa masalah yang dijadikan
pokok perdebatan dalam ilmu kalam
Beberapa
masalah yang dijadikan perdebatan dalam ilmu kalam antara lain:
1. Tentang khilafah , polemic ini bermula
dari ketidakpuasan kelompok tertentu mengenai pengganyi khilafah setelah utsman
bin affan wafat
2. Tentang keqadiman Al-Qur’an dalam
hal ini kalangan mutakallimin memperdebatkan apakah Al-Qur’an itu qadim atau
hadits
3. Tentang sifat-sifat Allah yaitu berkisar
tentang kehendak keadilan dll
4. Tentang melihat Allah di akhirat,
melihat tersebut secara fisik atau rohani
Tentang
dosa besar dalam hal ini mutakallimin berbeda pendapat tentang yang berdosa
besar antara lain apakah ia masik surga, neraka, atau berada diantara keduanya.
B. Asal usul munculnya aliran-aliran
dalam ilmu kalam
Sejak
wafatnya Nabi Muhammad saw, kaum muslimin sudah mulai menghadapi perpecahan.
Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi
Khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan,
mulai tampak kembali perpecahan yang disebarkan oleh orang-orang yang murtad
dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti
Musailamatul Kadzdzab, Thulalhah, Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu
ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar.
Padahal dahulunya mereka semua taat dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan
tetapi semua perselisihan itu segera dapat diatas dan dipersatukan kembali,
karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam yang
muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang hendak
menghancur-leburkannya.
Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq, Umar
ibnu Khattab, dan Utsman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan
terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah,
dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum
muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh pelosok penjuru
dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia Tenggara
tiba-tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan
oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam dianggap kurang mendapat simpati
dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak
sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang pengawasan
dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga
para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara
maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.
Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya hal
Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga Usman bin Affan adalah
keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah bermulanya fitnah yang membuka
kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan
terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan . Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib
terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak
memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui
pengangkatan itu. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan
tersebut sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya
membiarkan komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya
perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan.
Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.
Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian
setelah terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka berpendidikan,
tidak mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula memusuhinya Ali. Karena mereka
berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari dua golongan tersebut
tidak berakibat baik.
Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka,
yaitu Thalhah bin Abdullah, Zubir bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya
ini bersatu dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan untuk menggulingkan
khalifah Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai
Ali di Basrah dibunuh, perbendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan
membawa pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah
pertempuran hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh. Aisyah tertangkap dan
dipulangkan ke Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal (unta), sebab
Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak yang
melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam, yang
same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan Ali, hingga
pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat Islam yang memisahkan diri dari tentara
Ali. Golongan
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
Demikianlah golongan-golongan politik yang timbul di masa
Khalifah AIi-Kemudian sesudah Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu
kalam (aliran tentang aqidah) yang diakibatkan oleh timbulnya golongan-golongan
politik tersebar di atas, yaitu:
1. Syi’ah
Golongan ini sangat fanatik
kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan, keturunannya. Mereka berkeyakinan
tidak seorangpun yang berhak memegang, menduduki jabatan kekhalifahan kecuali
dari keturunan Ali. Jika orang yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali,
berarti merampas hak kekuasaan dan kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya
golongan ini dimasuki pula oleh unsur-unsur yang menyimpang dari pokok-pokok
agama Islam.
2. Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok
pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak perbuatan manusia ditimbulkan
sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad
Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup
pada zaman Daulah Umaiyah dan ketiganya mati terbunuh.
3. Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan,
yang dipelopori oleh Al-Jaham bin Shafwan la berpendapat bahwa hidup manusia
ini sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan
semata-mata, manusia tidak dapat berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga
meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala,
dengan suatu sifat yang bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada
makhluknya”. Pemimpin golongan ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.
4. Murjiah
Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa
kemaksiatan tidaklah menghilangkan keimanan atau tidak memberi bekas terhadap
keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh kepada orang
yang kafir.
5. Karamiyah
Golongan ini berpendapat, bahwa yang
diwajibkan kepada setiap muslim hanyalah pengakuan lisan saja atas kebenaran
rasul. Artinya cukuplah seseorang dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja,
sekalipun tanpa amal dan tanpa tashdiq di hati.
6. Khawarij
Golongan ini pada mulanya adalah
pengikut setia Khalifah Ali, namun mereka memisahkan diri akibat tidak setuju
dengan kebijakan khalifah menerima perdamian dengan Mu’awiyah pada saat perang
Siffin. Mereka berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka
orang itu dihukumkan keluar dari Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi
dalam neraka.
7. Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah ini salah satu
pokok pikirannya adalah, bahwa orang Islam yang mengerjakan dosa besar, atau
meninggalkan kewajiban-kewajiban, yang sampai matinya belum sempat bertobat,
maka orang itu dihukum keluar dari Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya
fasiq saja, namun menurutnya orang fasiq akan abadi di neraka.
Kesimpulan dari pokok-pokok
Mu’tazilah adalah sebagai berikut: Aliran Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok
yaitu :
1. Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait
hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :
·
Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah
apa yang
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
·
Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);
·
Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra
manusia,
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
2. Keadilan Allah SWT
Setiap
orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran mu’tazilah,
memperdalam arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya, sehingga
menimbulkan beberapa masalah. Dasar keadilan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah
adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Dalam
menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai berikut :
“Tuhan
tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya,
dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la hanya
memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan
yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang
dilarang-Nya.
Aliran
ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)
3. Janji dan Ancaman
Aliran
mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya; memberi
pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang
berbuat dosa (Mulyadi, 2005, hal. 108)
4. Posisi di antara dua posisi
(al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena
prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hajsan Bashri,
seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,, seseorang muslim yang
mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin tetapi juga tidak kafir,
melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri
antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin
dan diatas orang kafir.
Jalan
tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain. Jalan tengah ini
diambil oleh aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:
a) Al-Qur’an
: banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
b) Al-Hadits
: seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran
mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah segala perbuatan
yang tercela ini lebih banyak berkaitan dengan fiqh.
Kelima
prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang
mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka
berbeda-beda pendapat dalam soal-soal kecil dan terperinci. ketika memperdalam
pembahasan kelima prinsip tersebut dan menganalisanya dengan
didasarkan atas pikiran filsafat Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya
pemikiran aliran mu’tazilah sangat beragam. sebagaimana halnya dengan
bermacam-macam aliran filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras,
Neo-Platonismc dan sebagainya, yang k9semuanya disebut filsafat Yunani.
(Mulyadi, 2005, hal 109)
8. Ahli Sunah
wal Jama’ah
Kelompok ini biasa menyebut dirinya
Islama Aswaja. Pemahaman mereka ialah bahwa yang dihukumkan dengan orang
Islam, ialah orang yang memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua kalimat syahadat
dengan lisan, dan diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan amal.
Menurut Ahli Sunah wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar atau
mengingkari kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati tidak
sempat tobat, dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan maksiat. Hukumnya di
akhirat kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah akan masuk neraka untuk
menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan hukumnya itu, ada harapan
mendapat kebebasan dan masuk surge
Adapun pokok-pokok pikiran golongan
ahlu sunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
v Sifat Tuhan
Pendapat
Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran
Mu’tazilah di satu pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak.
Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah
(Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak
lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan
sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat
Allah yang tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak
menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti
manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan
manusia, dan seterusnya.
v Kekuasaan Tuhan dan perbuatan
manusia
Pendapat
Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran
Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut
aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu,
tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak
kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan
mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa
untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
v Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut
aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan
demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping
menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits
tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut
golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah
tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut,
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak.
v Dosa besar
Aliran
Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan dosanya
itu, meskipun ia mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari neraka.
Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan mengiklilaskan
diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak
akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang mukmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar