A. Pengertian
Syariat
Dari segi bahasa kata syariat bearti
jalan ketempat pengairan atau jalan sesungguhnya harus diturut (aturan). Kata
syariat terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran seperti dalam Al-Maidah ayat 48
Artinya:
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,
kata syariah
pada prinsipnya mengandung arti “jalan yang jelas membawa kemenangan”. Dalam
hal ini agama islam yang ditetapkan untuk manusia disebut syariat karena umat
islam selalu melaluinya dalam kehidupan mereka di dunia. Syariat adalah segala
aturan Allah yang berkaitan denngan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh
manusia itu sendiri. sedangkan segala hukum atau aturan-aturan yang berasal
atau dibangsakan kepada syariat tersebut disebut hukum syar’i. (H. Alaiddin
koto, 2004)
Antara ahli
ushul fiqih dan ahli fiqih berbeda pendapat dalam memahami hukum syar’I
tersebut. Pihak ahli ushul fiqih memberi definisi hukum syar’I khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla
(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan
dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab,syarat,atau mani’ penghalang).
B.
Pembagian Hukum
Syar’i
1.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh
adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung
dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan,
larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan
untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum Taklifi dibagi menjadi lima: Al-Ijab
(kewajiban), An-Nadb(kesunnahan), At-tahrim (keharaman), Al-karahah
(kemakruhan), Al ibahah (kebolehan).
1. Wajib
Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti
dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan
kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti firman Allah dalam Q.S 4
: 36 yang terjemahannya sebagai berikut.“ Sembahlah olehmu Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi
menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua
macam yaitu:
·
Wajib ‘Aini,
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan
berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur
kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari
semalam, puasa dibulan Ramadhan.
·
Wajib kifayah,
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah
dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah
terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan
mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat
dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:
·
Wajib mu’ayyan,
yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara
khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar
zakat.
·
Wajib
mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh
dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat
(denda melanggar).
Bila dilihat
dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
·
Wajib mu’aqqat,
yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu
tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti
tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika
mengakhirkan sholat tanpa udhur.
·
Wajib mutlaq,
yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak
ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
·
Wajib muhaddad,
yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
·
Wajib ghairu
muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti
bershodaqoh, infaq.
2. Sunah,
yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya
berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak
mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu
ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT.
Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai berikut.“ Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).
Sunah dibagi menjadi 3 yaitu:
·
Sunnah Muakadah
(sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan
jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
·
Sunnah ghoir
muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan
menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakkat
sebelum salat dhuhur.
·
Sunah al
Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia
misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.
3. Haram,
yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah
meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia
patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan
larangan berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut
mendapatkan ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang
terjemahannya sebagai berikut.“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu
bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya
perkataan yang mulia.”
Secara garis
besar haram dibagi mencadi dua:
·
haram yang
menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah
mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat
tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
·
haram karena
sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai
kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru
yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang
mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri
sedang haid)
4. Makruh,
yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya
orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya,
karena itu ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan
yang bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat
disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa
seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.“Dari Ibnu Umar, semoga Allah
meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah
adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani,
hal : 168)
5. Mubah,
yaitu titah Allah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik
mengerjakan atau meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan dia tidak diberi
ganjaran dan tidak pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang
berbuat, karena itu apabila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan
tidak diberi ganjaran seperti firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang
terjemahannya sebagai berikut.“Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah
itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik (Depag. R.I, 1984 : 55).
B. Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hukum wadh’I kepada
lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun
Haroen, 1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini.
Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1.
Sabab, yaitu
titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan
suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya
sebagai berikut. “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” (Depag.
R.I, 1984 : 436).
2.
Syarath, yaitu
titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu seperti
sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut. “Sesungguhnya Allah
tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga
berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
3.
Mani’
(penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada
hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang
terjemahannya sebagai berikut. “ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah
shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari
( Al-Asqalany, I tth :63).
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
·
Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang
bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi
kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib
dilakukannya pada waktu haid.
·
Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab,
menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah
tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang
dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka
dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada
harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan
predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
C.
Perbedaab Antara Hukum Taklifi Dengan Hukum
Wadh’i
·
Hukum taklifi
adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu
peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa
sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu
matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat zuhur.
·
Hukum taklifi
dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf.
Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan
merupakan aktifitas manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar