Rabu, 05 November 2014

HUKUM-HUKUM SYAR’I



A.      Pengertian Syariat
Dari segi bahasa kata syariat bearti jalan ketempat pengairan atau jalan sesungguhnya harus diturut (aturan). Kata syariat terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran seperti dalam Al-Maidah ayat 48
Artinya: Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,
kata syariah pada prinsipnya mengandung arti “jalan yang jelas membawa kemenangan”. Dalam hal ini agama islam yang ditetapkan untuk manusia disebut syariat karena umat islam selalu melaluinya dalam kehidupan mereka di dunia. Syariat adalah segala aturan Allah yang berkaitan denngan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. sedangkan segala hukum atau aturan-aturan yang berasal atau dibangsakan kepada syariat tersebut disebut hukum syar’i. (H. Alaiddin koto, 2004)
Antara ahli ushul fiqih dan ahli fiqih berbeda pendapat dalam memahami hukum syar’I tersebut. Pihak ahli ushul fiqih memberi definisi hukum syar’I khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’ penghalang).
B.       Pembagian Hukum Syar’i
1.    Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum Taklifi dibagi menjadi lima: Al-Ijab (kewajiban), An-Nadb(kesunnahan), At-tahrim (keharaman), Al-karahah (kemakruhan), Al ibahah (kebolehan).
1.    Wajib
Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.“ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani  kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
·      Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
·      Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:
·           Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
·           Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
·           Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
·           Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
·           Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
·           Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.

2.    Sunah, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai berikut.“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).
Sunah dibagi menjadi 3 yaitu:
·           Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
·           Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat dhuhur.
·           Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.

3.    Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai berikut.“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.”
Secara garis besar haram dibagi mencadi dua:
·           haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
·           haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid)
4.    Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.“Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168)
5.    Mubah, yaitu titah Allah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.“Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).

B.  Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hukum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1.      Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut. “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).
2.      Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut. “Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
3.      Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai berikut. “ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
·      Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.
·      Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.

C.      Perbedaab Antara Hukum Taklifi Dengan Hukum Wadh’i
·      Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
·      Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...