A.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad ialah mencurahkan segala
kemampuan dalam mencapai hukum syara‟ dengan cara istinbath (menyelidiki dan
mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran dan sunah. Orang-orang
yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya
dapatdipertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain; (a) bersifatadil
dan takwa, (b) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya, ilmu tafsir, ushul
fiqih, dan „ulumul hadits. Ilmu-ilmu
tersebut diperlukan untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan
maksud-maksud ungkapan dalam Alquran dan sunah.
B.
Hukum Ijtihad
Dalam buku
ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum berijtihad, yaitu:
a. Wajib ain yakni apabila seseorang yang di tanya prihal hukum suatu
peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum di tetapkan hukumnya.
Demikian pula seseorang yang segera ingin mendapatkan kepastian hukum untuk
dirinya sendiri dan tidah ada mujtahid yang bisa segera di temui untuk
mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
b. Wajib kifayah yakni bagi seseorang yang di tanya tentang sesuatu pristiwa hukum, dan tidak di
khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara di samping dirinya masik
ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c. Sunnah yakni berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum yang
belum terjadi baik di tanyakan ataupun
tidak ada yang mempertanyakan.
d. Haram yaitu
ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
tegas (qath’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi
ijma. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai
mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya
karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.
C.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan
lengkap, tidak berarti semua hal dalamkehidupan manusia diatur secara detil
oleh Al Quran maupun Al Hadist. Meski Al Quran sudahditurunkan secara sempurna
dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secaradetil
oleh Al Quran maupun Al Hadis.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
Mengikuti ketentuan yang adaSebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al
Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak
jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat
itulah makaumat Islam memerlukan ketetapan
Ijtihad. Namun Jika Merupakan Persoalan tersebut perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al
Hadist, pada saat itulah maka umat IslamKetetapan
Memerlukan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang
mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran
dan Al Hadist.
D.
Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad adalah mujtahid. Ada
beberapa tingkatan dalam mujtahid antara lain:
a.
Mujtahid fi al-syar’i bisa di sebut
dengan mujtahid mustaqil. Ialah orang yang membangun suatu madzab
seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi”i, dan
Ahmad bin Hambal.
b.
Mujtahid fi al-mazhab, ialah
mujtahid yang tidak membentuk madzab sendiri tetapi mengikuti salah satu imam
madzab saja. Seperti Abu Al-Hasan Kharkhi (260-340 H), Abu Ja’far At-Thahawi
(230-321 H), dan Al-Hasan bin Ziyad (wafat 204 H) dari kalangan Hanafiyah,
Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (289-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu
Abi Hamid Al-Asfrini (344-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.
c.
Mujtahid fi al-masa’il ialah mujtahid
yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang
umum. Seperti Imam Al-Thahawi dari kalangan Hanafiyah, Al-Ghozali dari kalangan
Syafi’iyah, Al-Khiraqi dari kalangan Hanabilah.
d.
Mujtahid muqoyyad ialah mujtahid
yang mengikat diri dengan pendapat ulama’ salaf dan mengikuti ijtihad mereka.
Yang termasuk dalam mujtahid muqoyyad adalah Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan
As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid
muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid
Al Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan Mazhab Syafi’i adalah Abu Ishaq
Asy Syirazi, Ibnu Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir. Adapun dari kalangan
Mazhab Hambali, di antaranya adalah Al Qadhi Abu Ya’la dan Al Qadhi Abu Ali bin
Abu Musa rahimahumullah.
E.
Kebenaran Hasil Ijtihad
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak dulu hingga
sekarang selalu saja ada, bahkan lebih-lebih di masa ini
sekarang. Diantaranya ada yang menyentuh hukum-hukum syari’iy dan ini
meminta penyelesaian. Untuk itulah ijtihad itu diperlukan. Tentu saja dalam
hal-hal yang qath’iy, yang sudah
pasti hukumnya tidak diperlukan ijtihad.
Umat Islam dalam hal ini siapa saja wajib langsung melakukannya.
Misalnya, sholat itu wajib. Sholat fardhu itu
ada lima kali. Puasa ramadhan itu wajib dan lain sebagainya. Tetapi
didalam hal yang tidak qath’iy, artinya belum ada nash disitulah
wajib dilakukan ijtihad itu. Apalagi apabila memang hal-hal tersebut menyangkut
hukum syar’iy. Misalnya yang terjadi pada zaman sekarang, bagaimana dengan KB,
bagaimana bayi tabung dan banyak lagi hal-hal yang lain yang menjadi mas’alah
yang menyebabkan umat Islam bertanya-tanya bagaimana melakukannya dengan baik
ataukah memang tidak melakukannya.
Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis, dengan
catatan bahwa nash tersebut masih bersifat zhan bukan qath’i.
Atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nash. Jadi, ijtihad tidak
berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti (qath’i) seperti mengeluarkan
hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena
untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
F.
Pendapat Para Ulama tentang
Ijtihad Nabi dan Sahabat.
Sejak dulu
hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus
yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al-qur’an dan as-sunnah.
Apalagi zaman sekarang ini, di mana agama
Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat
kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat
ini perkembangan ilmu dan teknologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan
status hukumnya.
Agar hukum Islam tetap actual, maka
masa kini diperlukan hukum Islam dalam bentuk baru, dan tidak mesti mengambil
alih secara total hasil fiqh yang lama.
Maka diperlukan reformasi atau tajdid fiqh. Diantara caranya adalah dengan
memahami kembali dalil syara’ yang menjadi rujukan ulama mujtahidin terdahulu
dan menjadikan situasi dan kondisi masa sekarang sebagai bahan pertimbangan
penetapan hukum sebagaimana yang dilakukan pula oleh mujtahid masa lalu.
Orang yang
mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas
dasar fardhu kifayah. Ada ulama yang berkata: kita perlu membayangkan
hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar diketika terjadi
hal-hal itu hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha ahlul
ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah
yang telah terjadi ijma’.
Dalam hal
inilah berwujudnya perbedaan-perbedaan pendapat, oleh karena jalan yang
ditempuh dalam berijtihad berbeda, maka tidaklah mengherankan kalau hasilnya
berbeda pula, tetapi ikhtilaf ini mewujudkan kekayaan fiqh yang besar dan
menghasilkan teori-teori yang banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar