Rabu, 05 November 2014

IJTIHAD



A.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara‟ dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran dan sunah. Orang-orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapatdipertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain; (a) bersifatadil dan takwa, (b) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya, ilmu tafsir, ushul fiqih, dan „ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut diperlukan untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan maksud-maksud ungkapan dalam Alquran dan sunah.

B.       Hukum Ijtihad
Dalam buku ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum berijtihad, yaitu:
a.    Wajib ain yakni apabila seseorang yang di tanya prihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum di tetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang yang segera ingin mendapatkan kepastian hukum untuk dirinya sendiri dan tidah ada mujtahid yang bisa segera di temui untuk mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
b.    Wajib kifayah yakni bagi seseorang yang di tanya tentang  sesuatu pristiwa hukum, dan tidak di khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara di samping dirinya masik ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c.    Sunnah yakni berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum yang belum terjadi  baik di tanyakan ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
d.   Haram yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qath’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.

C.      Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalamkehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Meski Al Quran sudahditurunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secaradetil oleh Al Quran maupun Al Hadis.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus Mengikuti ketentuan yang adaSebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah makaumat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Namun Jika Merupakan Persoalan tersebut perkara yang tidak  jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat IslamKetetapan Memerlukan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

D.      Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad adalah mujtahid. Ada beberapa tingkatan dalam mujtahid antara lain:
a.         Mujtahid fi al-syar’i bisa di sebut dengan mujtahid mustaqil. Ialah orang yang membangun suatu madzab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi”i, dan Ahmad bin Hambal.
b.         Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk madzab sendiri tetapi mengikuti salah satu imam madzab saja. Seperti Abu Al-Hasan Kharkhi (260-340 H), Abu Ja’far At-Thahawi (230-321 H), dan Al-Hasan bin Ziyad (wafat 204 H) dari kalangan Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (289-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid Al-Asfrini (344-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.
c.         Mujtahid fi al-masa’il ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum. Seperti Imam Al-Thahawi dari kalangan Hanafiyah, Al-Ghozali dari kalangan Syafi’iyah, Al-Khiraqi dari kalangan Hanabilah.
d.        Mujtahid muqoyyad ialah mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama’ salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Yang termasuk dalam mujtahid muqoyyad adalah Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan Mazhab Syafi’i adalah Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir. Adapun dari kalangan Mazhab Hambali, di antaranya adalah Al Qadhi Abu Ya’la dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah.

E.  Kebenaran Hasil Ijtihad
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak dulu hingga sekarang selalu saja ada, bahkan lebih-lebih di masa ini sekarang. Diantaranya ada yang menyentuh hukum-hukum syari’iy dan ini meminta penyelesaian. Untuk itulah ijtihad itu diperlukan. Tentu saja dalam hal-hal  yang qath’iy, yang sudah pasti hukumnya tidak diperlukan ijtihad.
Umat Islam dalam hal ini siapa saja wajib langsung melakukannya. Misalnya, sholat itu wajib. Sholat fardhu itu  ada lima kali. Puasa ramadhan itu wajib dan lain sebagainya. Tetapi didalam hal yang tidak qath’iy, artinya belum ada nash disitulah wajib dilakukan ijtihad itu. Apalagi apabila memang hal-hal tersebut menyangkut hukum syar’iy. Misalnya yang terjadi pada zaman sekarang, bagaimana dengan KB, bagaimana bayi tabung dan banyak lagi hal-hal yang lain yang menjadi mas’alah yang menyebabkan umat Islam bertanya-tanya bagaimana melakukannya dengan baik ataukah memang tidak melakukannya.
 Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nash tersebut masih bersifat zhan bukan qath’i. Atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nash. Jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti (qath’i) seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.

F.   Pendapat Para Ulama tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat.
Sejak dulu hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al-qur’an dan as-sunnah. Apalagi zaman sekarang ini, di  mana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan teknologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
Agar hukum Islam tetap actual, maka masa kini diperlukan hukum Islam dalam bentuk baru, dan tidak mesti mengambil alih secara total  hasil fiqh yang lama. Maka diperlukan reformasi atau tajdid fiqh. Diantara caranya adalah dengan memahami kembali dalil syara’ yang menjadi rujukan ulama mujtahidin terdahulu dan menjadikan situasi dan kondisi masa sekarang sebagai bahan pertimbangan penetapan hukum sebagaimana yang dilakukan pula oleh mujtahid masa lalu.
Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardhu kifayah. Ada ulama yang berkata: kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar diketika terjadi hal-hal itu hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha ahlul ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi ijma’.
Dalam hal inilah berwujudnya perbedaan-perbedaan pendapat, oleh karena jalan yang ditempuh dalam berijtihad berbeda, maka tidaklah mengherankan kalau hasilnya berbeda pula, tetapi ikhtilaf ini mewujudkan kekayaan fiqh yang besar dan menghasilkan teori-teori yang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...