Kamis, 09 Oktober 2014

AKHLAK MAHMUDAH DAN AKHLAK MADZMUMAH TERHADAP ALLAH SWT



AKHLAK MAHMUDAH DAN AKHLAK MADZMUMAH TERHADAP ALLAH SWT





 



Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadits 2

Dosen pengampu :
M. Rafiq Junaidi

Disusun oleh :
1.      Farah  Faida Fikriah          123111154
2.      Himmatul Khusna             123111181


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Akhlak merujuk kepada amalan, dan tingkah laku tulus yang tidak dibuat-buat yang menjadi kebiasaan. Manakala menurut istilah Islam, akhlak ialah sikap keperibadian manusia terhadap Allah, manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan suruhan dan larangan serta petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini bererti akhlak merujuk kepada seluruh perlakuan manusia sama ada berbentuk lahiriah mahupun batiniah yang merangkumi aspek amal ibadat, percakapan, perbuatan, pergaulan, komunikasi, kasih sayang dan sebagainya.
Dalam makalah ini yang di bahas adalah akhlak mahmudah dan madzmumah seorang muslim kepada Allah SWT. Yaitu tentang bagaimana seharusnya perilaku seorang muslim tehadap Allah SWT dan perilaku yang harus dihindari oleh seorang muslim terhadap Allah SWT. Sehingga nantinya seorang muslim akan menjadi seorang yang berakhlak mulia khususnya akhlak Kepada Allah SWT.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari akhlak?
2.      Apa pengertian akhlak mahmudah?
3.      Apa saja contoh akhlak mahmudah terahadap Allah?
4.      Apa pengertian akhlak madzmumah?
5.      Apa saja contoh akhlak madzmumah terhadap Allah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian akhlak
Akhlak menurut bahasa yaitu berasal dari bahasa arab (اخلاق) jamak dari kata خلق yang berarti tingkah laku, perangai atau tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi. Dengan demikian akhlak pada hakikatnya adalah sikap yang melekat pada diri mausia, sehingga manusia dapat melakuakannnya tanpa berfikir (spontan).
Menurut Kahar Masyhur akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sehingga akhlak kepada Allah dapat diartikan Segala sikap atau perbuatan manusia yang dilakukan tanpa dengan berfikir lagi (spontan) yang memang seharusnya ada pada diri manusia (sebagai hamba) kepada Allah SWT. (sebagai Kholiq).[1]
B.       Akhlak mahmudah

C.      Contoh akhlak mahmudah terhadapa Allah SWT
1.    Taqwa
Taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hakikat taqwa
QS Al-Baqarah ayat 3-4
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
4. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Dalam Surah tersebut disebutkan kriteria orang-orang yang bertaqwa, yaitu Beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian dari rezki yang di terimanya dari Allah, beriman dengan kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab suci sebelumnya dan beriman dengan hari akhir.
QS Ali Imran: 134-135
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
135. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Sementara itu dalam QS Ali Imran: 134-135 disebutkan empat diantara ciri-ciri orang yang bertaqwa, yaitu: Dermawan, mampu menahan amarah, pemaaf dan istigfar dan taubat dari kesalahan-kesalahannya.[2]

Jalan mencapai taqwa
a.       Muraqabah (merasakan kesertaan Allah)
Maksud muraqabah ialah merasakan kebersamaan-Nya dikala sepi maupun ramai. Caranya dengan mengecek niatan kita saat beraktivitas apakah untuk ridha Allah atau yang lain. Jika benar-benar karena-Nya maka kita akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsu kita tidak setuju.
b.      Mu’ahadah (mengingat perjanjian)
Caranya dengan menginstropeksi diri dengan perjanjian yang telah kita ikrarkan 17x dalam sehari saat membaca surah Al-Fatihah.
c.       Muhasabah (instropeksi diri)
Makna muhasabah aah hendaknya seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai mlakukan amalan perbuatan.
Caranya kita bisa membuat mutaba’ah harian atau merenung saat menjelang tidur atas apa saja yang telah kita lakukan seharian.
d.      Mujahadah (optimalisasi)
Apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya.[3]

Buah dari taqwa
Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan dapat memetik buahnya, baik di dunia maupun diakhirat. Buah itu antara lain:
a.       Mendapatkan sikap furqan
b.      Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi
c.       Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan
d.      Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga
e.       Mendapatkan kemudahan dalam urusannya
f.       Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar.[4]
2.    Syukur
Syukur secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab “syukrun” yang berarti mengingat atau menyebut nikmat-Nya dan mengagungkan-Nya. Syukur artinya sesuatu yang menunjukkan kebaikan dan penyebarannya. Sedangkan secra syar’I, syukur adalah memberikan pujian kepada Allah SWT dengan cara taat kepada-Nya, tunduk dan berserah diri hanya kepada-Nya serta bersikap amar makruf dan nahi mungkar. Karena Allah yang memberikan segala bentuk kenikmatan kepada kita.
Jadi, syukur sebagai sikap pengakuan terhadap nikmat Allah SWT. Rasa syukur tidak hanya melalui ucapan hamdalah ketika mendapatkan nikmat dari-Nya. Tetapi lebih dari itu, harus diwujudkan dengan tindakan nyata dan kepatuhan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allah memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya.
Syukur terhadap Allah menjadikan kenikmatan terus bertambah. Allah SWT telah berfirman dalam (QS. Ibrahim: 7) yang artinya “sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepada kalian”. Ungkapan syukur tidak cukup hanya dengan ucapan, namaun harus disertai dengan perbuatan. Perwujudan syukur bisa dengan hati, lidah dan anggota tubuh. Syukur dengan hati ialah bermaksud untuk kebaikan dan menyebarkannya kepada semua orang.
Syukur dengan lidah menampakkan syukur itu kepada Allah dengan cara memuji-Nya. Syukur dengan anggota tubuh ialah dengan mempergunakan kenikmatan dari Allah untuk taat kepada-Nya dan tidak menggunakannya untuk mendurhakai-Nya. Perwujudan syukur dengan mata ialah dengan menutupi aib yang dilihatnya pada diri orang muslim lainnya.[5] Perwujudan syukur telinga yakni dengan menutupi seetiap aib yang didengarnya. Dalam pelaksanaannya, syukur terbagi menjadi dua yakni:
a.       Syukur Wajib
Syukur wajib adalah dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhi semua larangan. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap kesehatan dan kesempurnaan anggota badan, dan berbagai nikmat lainnya.
b.      Syukur Sunah
Yaitu dengan melaksanakan berbagai amanah yang sifatnya sunah. Tentunya, setelah melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai larangan.[6]

3.    Cinta dan Ridha
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah SWT.
Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan adlah cinta menengah yang harus berada dibawah cinta utama. Apabila cinta menengah diangkat melebihi cinta utama maka cintanya jatuh menjadi hina, tidak ada nilainya. Inilah yang disebut dengan cinta yang paling rendah.
Secara khusus dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an bahwa Dia mencintai orang-orang dengan sifat dan amalan tertentu. Seperti berbuat ihsan, bertaubat, bertaqwa, sabar, tawakal, berlaku adil, bersih, berperang dijalan-Nya dan lain-lain.
Sejalan dengan cinta, seorang muslim harulah dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya dia harus menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun peunjuk-petunjuk lainnya.[7]

4.    Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya.
Tawakal dan ikhtiar
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiyar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa.
Hikmah tawakal, sikap tawakal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan batin.[8]
D.      Akhlak madzmumah
Madzmumah sendiri memiliki arti kekejian (radza’il), buruk atau tercela. Adapun semua biang sifat-sifat buruk juga disebut dengan akhlak yang tercela yang dari padanya dapat terbentuk sifat tercela yang menjijikan di dalam jiwa (khaba’its fi al-nafs), penyakit dalam jiwa dan juga sifat yang merusak (shifat muhlikat).
Sehingga dengan demikian akhlak madzmumah dapat didefinisikan dengan segala sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia. Dan daripadanya akan memberikan dampak negatif terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang berada disekitarnya.
Pendapat lain juga menyebutkan bahwasanya yang disebut dengan akhlak madzmumah ialah semua sifat, perkataan ataupun perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga dianggap buruk atau tercela dan bernilai negatif.
Meskipun demikian menurut Al-Ghazali asal mula yang menjadi biang dari adanya akhlak madzmumah tersebut yakni kelobaan, ekses nafsu seksual, nafsu untuk berkata berlebihan, amarah hebat, rasa iri, rasa dendam, cinta dunia, cinta harta, kebakhilan, kemegahan, kesombongan, kecongkakan, dan penipuan terhadap diri sendiri, dan untuk membuang biang-biang dari sifat tersebut dapat dilakukan dengan jalan riyadhah dan membiasaan menahan diri atau mujahadah.

E.       Contoh akhlak madzmumah terhadap Allah SWT
Adapun diantara sikap dan perilaku manusia yang termasuk bentuk dari akhlak tercela terhadap Allah SWT. Yaitu:
1.      Syirik
Syirik adalah suatu perbuatan (dalam sikap dan, atau niat) terutama menyangkut aqidah di mana seseorang melakukan sesuatu bukan sepenuhnya karena Allah SWT - atau secara sadar mencampur baurkan ke-esaan dzat Allah SWT dengan unsur-unsur lain yang menurut ajaran Islam dapat diartikan sebagai perbuatan menyekutukan Alah SWT. Syirik ada dua macam, yakni syirik besar dan syirik kecil.
Syirik besar yaitu jika seorang hamba memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah SWT. Maka, setiap ucapan atau perbuatan yang dicintai Allah jika ditujukan kepada-Nya adalah tauhid dan iman, sedangkan jika dipalingkan kepada selain-Nya ia berarti syirik dan kekufuran. Contohnya yakni meminta rizki atau kesehatan kepada selain Allah, atau menggantungkan diri dan bersujud kepada selain Allah. Allah berfirman dalam surat Al-Mu’min ayat 60 yang artinya “Dan Tuhanmu berfirman, ‘berdoalah kepadaKu, niscaya akan kuperkenankan bagimu”. Jika doa, tawakkal dan sujud termasuk ibadah yang diperintahkan Allah maka barang siapa yang menujukannya kepada Allah berarti ia seorang mukmin. Dan sebaliknya, barang siapa yang memalingkannya kepada selain Allah berarti ia seorang musyrik dan kafir.
Adapun syirik kecil adalah setiap ucapan atau perbuatan yang menjadi wasilah (perantara) dan jalan penyebab terjerumus kepada syirik besar. Contoh syirik kecil yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), yaitu melakukan amalan sholat secara khusyuk karena hanya ingin dipandang baik oleh orang lain. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 110 yang artinya “maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia berbuat syirik sedikitpun dalam beribadah kepada Rabbnya”.[9]

2.    Riya’
Sifat ria berhubungan erat dengan sifat sum’ah yang mana menurut imam Ghazali ria berasal dari kata ru’ya yang berarti memperlihatkan, atau secara jelasnya dapat difahami dengan “ingin dilihat orang-orang supaya mendapat kedudukan atau pujian” sedangkan sum’ah berasal dari kata sama’ yang berarti mendengar, memperdengarkan, atau juga menceritakan (amal kebaikan).
Sehingga dari pemaknaan tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan sum’ah disini yakni sifat suka menceritakan amal perbuatan agar didengar orang dengan maksud untuk mendapatkan pujian atau simpati.
Dengan demikian antara ria dan sum’ah, keduanya merupakan sifat tercela dan menghilangkan sifat ikhlas karena amal kebaikan yang dilakukan tidak semata-mata karena Allah SWT semata, tetapi karena ingin mendapat pujian atau kekhawatiran mendapat celaan dari orang lain. Adapun hadits yang berkenaan dengan larangan untuk berbuat ria dan sum’ah yakni arti dari salah satu hadits, sebagai berikut:
Artinya:
“Barang siapa (berbuat baik) karena ingin didengar oleh orang lain (sum’ah), maka Allah akan memperdengarkan kejelekannya kepada orang lain. Dan barang siapa (berbuat baik) karena ingin dilihat orang lain (ria) maka Allah akan memperlihatkan kejelekannya kepada orang lain.” (H.R. Bukhari).
Adapun sifat ria dan sum’ah akan membawa dampak buruk terhadap pelakunya, diantaranya yaitu:
a.       Allah SWT tidak menerima sedikitpun amalan ibadah dari pelaku ria, bahkan mereka akan menerima azab sebagai balasannya, sebagaimana dijelaskan dalam.
b.      Mendapat dosa besar karena ria termasuk perbuatan syirik kecil
c.       Menghapus pahala amal baik dan tidak selamat dari bahaya kekafiran, karena ria sangat dekat dengan kekafiran.
3.      Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ kufur adalah tidak  beriman kepada Allah dan Rasulnya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. Tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. Jenis Kufur antara lain:
a.       Kufur besar
Yaitu menolak kebenaran Islam baik secara keseluruhan maupun sebagian, termasuk dalam hal ini ialah mengakui kebenaran Islam tetapi enggan melaksanakannya. Kufur besar menyebabkan pelakunya berada di luar dari Dienul Islam. Orang yang melakukan perbuatan kufur besar disebut kafir. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak (kenabian Nabi Muhammad SAW) tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir? (QS. Al ‘Ankabuut: 68)
b.      Kufur kecil
Yaitu melakukan dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar. Kufur kecil tidak menjadikan pelakunyaberada di luar Dienul Islam. Orang yang melakukan perbuatan kufur kecil tidak disebut sebagai kafir, namun tergolong sebagai pelaku dosa besar. Kufur kecil jika dilakukan terus menerus dapat membuka jalan bagi pelakunya untuk melakukan perbuatan kufur besar.
Dosa-dosa yang tergolong kufur kecil antara lain:
a)   Kufur nikmat.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS. An Nahl: 83)
b)   Bersumpah dengan nama selain Allah.
“Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik. (HR. At Tirmidzi dan dihasankannya, sertadishahihkan oleh Al Hakim)
Mengenai riwayat yang menceritakan bahwa Nabi SAW membolehkan bersumpah atas nama orang tua (misalkan Demi Ayahnya), maka Syaikh Al Utsaimin (dalam Fatwa-Fatwa Terkini, penerbit Darul Haq) menyebutkan bahwa ini termasuk Mutasyabih, sementara masalah bersumpah atas nama selain Allah termasuk Muhkam. Disebut Mutasyabih karena terdapat banyak kemungkinan. Bisa jadi hadits tersebut ada sebelum datangnya larangan tentang hal itu. Bisa jadi juga ia khusus bagi Rasulullah SAW saja dalam mengungkapkan lafazh seperti itu. Bisa jadi pula ia hanya merupakan sesuatu yang terbiasa diucapkan lisan tanpa maksud sebenarnya.
Dalam hal ini cara yang ditempuh oleh para ulama salafus shalih ialah meninggalkan yang Mutasyabih, dan mengambil yang Muhkam. Hal ini senada dengan kandungan QS. Ali Imran: 7. Sehingga menjadi kewajiban kita untuk mengambil sesuatu yang sudah Muhkam, yaitu larangan bersumpah atas nama selain Allah.
c)   Mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu.
Dari Abu Dzar, dia mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur. ... (HR Bukhari)
d)  Kufur kepada suami dan kebaikannya.
Nabi SAW bersabda: Aku diperlihatkan neraka, tiba-tiba (aku lihat) kebanyakan penghuninya adalah perempuan yang kufur. Kemudian Nabi SAW ditanya: Apakah mereka kufur kepada Allah? Beliau SAW menjawab: Mereka kufur kepada suami dan kebaikannya. Jika engkau berbuat baik kepada salah seorang diantara mereka selama setahun, kemudian dia melihat sesuatu yang mengecewakan, dia akan berkata, Saya tidak pernah melihat kebaikanmu sedikitpun. (HR. Bukhari)
e)   Membunuh orang Islam.
“Mencaci orang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Janganlah kalian sepeninggalku kembali lagi menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang muslim yang membunuh sesama muslim tidak lantas disebut kafir. Bahkan dalam QS. Al Baqarah: 178 disebutkan kata saudara (seiman) antara si pembunuh dengan wali yang berhak melakukan qishaash. Namun membunuh tetap merupakan dosa besar yang tidak boleh dilakukan.
4.      Nifak
Nifak dari segi bahasa memiliki arti berpura-pura pada agamanya. Sedangkan dari segi istilah yaitu orang yang menyembunyikan kekafirannya namun menyatakan keimanannya.
Menurut Imam Ghozali dalam kitanbnya Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa kata munafik adalah diambil dari kata Nafiqa’ul yarbu (liang binatang seperti tikus, kakinya lebih panjang dari tangannya, ekor dan telinganya lebih panjang kalau dibandingkan dengan tikus). Disebutkan bahwa yarbu memiliki dua buah liang, sebuah disebut nafiqa’ dan sebuah lagi disebut qasia’. Dia bisa menampakkan dirinya pada liang yang satu dan keluar lagi dari liang yang lain. Oleh karena itulah orang yang berbuat demikian disebut munafik, sebab dia menampakkan dirinya bahwa dia seorang yang Islam, tetapi dia keluar dari Islam itu kearah kafir. Kemunafiksn itu ada dua macam:
a.    Kemunafikan yang mengeluarkan dari agama dan mengantarkan orang kepada golongan orang-orang kafir serta membawa ke dalam golongan orang-orang yang diabadikan di dalam neraka.
b.    Kemunafikan yang membimbing pemiliknya ke neraka pada batas waktu tertentu atau mengurangi dari derajat kemuliaan dan menurunkan dari tingkat sadiqin.

5.      Fasiq
Fasiq/Fasik (Bahasa Arab: فاسق) berasal dari akar kata fasaqa-yafsiqu/yafsuqu-fisqan-fusûqan. Secara etimologis (bahasa), dalam ungkapan Arab, fasiq maknanya adalah keluar dari sesuatu atau keluar/menyimpang dari perintah. Secara terminologis (istilah), orang fasiq adalah orang yang menyaksikan tetapi tidak meyakini dan melaksanakan. Ia juga bermaksud melakukan maksiat, meninggalkan perintah Allah, dan menyimpang dari jalan yang benar.
Sehingga seseorang dapat disebut fasiq jika sering berbuat dosa.
Orang-orang yang terus menerus melakukan dosa besar, menganggap dosa besar adalah hal yang biasa, dan menolak untuk meninggalkan dosa besar, maka mereka dapat tertutup serta mati hatinya sehingga bisa menjadi munafik dan kafir. “Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”, (QS. Al Baqarah: 26)
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. Al Munaafiquun: 6)
Sehingga istilah fasiq dapat dibagi dua:
1. Fasiq kecil, yaitu orang Islam yang sering berbuat maksiat namun masih memiliki iman dalam hatinya. “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An Nuur: 4)
2. Fasiq besar, yaitu orang kafir dan munafik dimana mereka sudah tidak memiliki iman dalam hatinya. “Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya”. (QS. As Sajdah: 20)
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. At Taubah: 67)
Namun pada umumnya, jika para ulama menyebut istilah fasiq tanpa tambahan kata besar/kecil maka yang dimaksudkan ialah fasiq kecil.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Akhlak menurut bahasa adalah tingkah laku, perangai atau tabiat. Sedangkan meurut istilah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi. Akhlak terhadap Allah yaitu sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik.
Akhlak dibagi menjadi 2 yaitu, akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah. Akhlak mahmudah yaitu segala tingkah laku yang terpuji, dapat disebut juga dengan akhlak fadhilah, akhlak utama. Contoh dari akhlak mahmudah terhadap Allah yaitu Takwa, Syukur, Cinta dan Ridha, Tawakal.
Sedangkan akhlak madzmumah yaitu segala sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Contoh dari akhlak madzmumah terhadap Allah yaitu, Syirik, Riya’, Kufur, Nifak dan Fasiq.
 



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Rasyid, 1989, Akhidah Akhlak, Bandung: Husaini
Al-Bugha Musthafa Dieb, 2003, Al-Wafi, Jakarta: Al-I’tishom
Ilyas Yunahar, 2012, Kuliah Akhlak, Cet XII, Yogyakarta: LPPI
Shalih bin Fauzan, 2002, Kitab Tauhid, Jakarta: Al-Sofwa
Tim P3KMI, 2012, Buku Panduan P3KMI, Cet I, Yogyakarta: Cipta Media Aksara
Qudamah Ibnu, 1997, Minhajul Qashidin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar



[1] http://hisbulah.blogspot.com/2011/03/akhlak-seorang-muslim-kepada-allah-swt.html
[2] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, Cet XII, (Yogyakarta: LPPI, 2012), hlm 17-20
[3] Tim P3KMI, Buku Panduan P3KMI, Cet I, (Yogyakarta, Cipta Media Aksara, 2012), hlm 138-140
[4] Yunahar Ilyas, hlm 22-24
[5] Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hlm.348.
[6] Musthafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi, (Jakarta: Al-I’tishom, 2003), hlm.211-212.
[7] Yunahar Ilyas, hlm 24-28
[8]Yunahar Ilyas, hlm 44-49
[9]  Shalih bin Fauzan, Kitab Tauhid, (Jakarta: Al-Sofwa, 2002), hlm.5-12
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...