AKHLAK
MAHMUDAH DAN AKHLAK MADZMUMAH TERHADAP ALLAH SWT
Makalah ini disusun guna memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Hadits 2
Dosen pengampu :
M. Rafiq Junaidi
Disusun oleh :
1. Farah Faida Fikriah 123111154
2. Himmatul
Khusna 123111181
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhlak merujuk kepada amalan, dan
tingkah laku tulus yang tidak dibuat-buat yang menjadi kebiasaan. Manakala
menurut istilah Islam, akhlak ialah sikap keperibadian manusia terhadap Allah,
manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan suruhan dan larangan
serta petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini bererti akhlak merujuk
kepada seluruh perlakuan manusia sama ada berbentuk lahiriah mahupun batiniah
yang merangkumi aspek amal ibadat, percakapan, perbuatan, pergaulan,
komunikasi, kasih sayang dan sebagainya.
Dalam makalah ini yang di bahas
adalah akhlak mahmudah dan madzmumah seorang muslim kepada Allah SWT. Yaitu
tentang bagaimana seharusnya perilaku seorang muslim tehadap Allah SWT dan
perilaku yang harus dihindari oleh seorang muslim terhadap Allah SWT. Sehingga
nantinya seorang muslim akan menjadi seorang yang berakhlak mulia khususnya
akhlak Kepada Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari akhlak?
2.
Apa
pengertian akhlak mahmudah?
3.
Apa
saja contoh akhlak mahmudah terahadap Allah?
4.
Apa
pengertian akhlak madzmumah?
5.
Apa
saja contoh akhlak madzmumah terhadap Allah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian akhlak
Akhlak menurut bahasa yaitu berasal
dari bahasa arab (اخلاق) jamak dari kata خلق yang berarti tingkah laku, perangai atau tabiat. Sedangkan
menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan
dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi. Dengan demikian
akhlak pada hakikatnya adalah sikap yang melekat pada diri mausia, sehingga
manusia dapat melakuakannnya tanpa berfikir (spontan).
Menurut Kahar Masyhur akhlak kepada
Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sehingga
akhlak kepada Allah dapat diartikan Segala sikap atau perbuatan manusia yang
dilakukan tanpa dengan berfikir lagi (spontan) yang memang seharusnya ada pada
diri manusia (sebagai hamba) kepada Allah SWT. (sebagai Kholiq).[1]
B.
Akhlak mahmudah
C.
Contoh akhlak mahmudah terhadapa Allah SWT
1.
Taqwa
Taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hakikat taqwa
QS Al-Baqarah ayat 3-4
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.
4.
dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu
dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.
Dalam Surah tersebut disebutkan kriteria orang-orang yang bertaqwa,
yaitu Beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian dari
rezki yang di terimanya dari Allah, beriman dengan kitab suci Al-Qur’an dan
kitab-kitab suci sebelumnya dan beriman dengan hari akhir.
QS Ali Imran: 134-135
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.
135.
dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Sementara itu dalam QS Ali
Imran: 134-135 disebutkan empat diantara ciri-ciri orang yang bertaqwa, yaitu:
Dermawan, mampu menahan amarah, pemaaf dan istigfar dan taubat dari
kesalahan-kesalahannya.[2]
Jalan mencapai taqwa
a.
Muraqabah
(merasakan kesertaan Allah)
Maksud muraqabah
ialah merasakan kebersamaan-Nya dikala sepi maupun ramai. Caranya dengan
mengecek niatan kita saat beraktivitas apakah untuk ridha Allah atau yang lain.
Jika benar-benar karena-Nya maka kita akan melaksanakannya kendatipun hawa
nafsu kita tidak setuju.
b.
Mu’ahadah
(mengingat perjanjian)
Caranya dengan
menginstropeksi diri dengan perjanjian yang telah kita ikrarkan 17x dalam
sehari saat membaca surah Al-Fatihah.
c.
Muhasabah
(instropeksi diri)
Makna muhasabah
aah hendaknya seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai mlakukan amalan
perbuatan.
Caranya kita
bisa membuat mutaba’ah harian atau merenung saat menjelang tidur atas apa saja
yang telah kita lakukan seharian.
d.
Mujahadah
(optimalisasi)
Apabila seorang
mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi
melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari
sebelumnya.[3]
Buah dari taqwa
Seseorang yang bertaqwa kepada Allah
SWT akan dapat memetik buahnya, baik di dunia maupun diakhirat. Buah itu antara
lain:
a.
Mendapatkan
sikap furqan
b.
Mendapatkan
limpahan berkah dari langit dan bumi
c.
Mendapatkan
jalan keluar dari kesulitan
d.
Mendapatkan
rezeki tanpa diduga-duga
e.
Mendapatkan
kemudahan dalam urusannya
f.
Menerima
penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar.[4]
2.
Syukur
Syukur secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab “syukrun” yang
berarti mengingat atau menyebut nikmat-Nya dan mengagungkan-Nya. Syukur artinya
sesuatu yang menunjukkan kebaikan dan penyebarannya. Sedangkan secra syar’I,
syukur adalah memberikan pujian kepada Allah SWT dengan cara taat kepada-Nya,
tunduk dan berserah diri hanya kepada-Nya serta bersikap amar makruf dan nahi
mungkar. Karena Allah yang memberikan segala bentuk kenikmatan kepada kita.
Jadi, syukur sebagai sikap pengakuan terhadap nikmat Allah SWT.
Rasa syukur tidak hanya melalui ucapan hamdalah ketika mendapatkan nikmat
dari-Nya. Tetapi lebih dari itu, harus diwujudkan dengan tindakan nyata dan kepatuhan
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allah memerintahkan
manusia untuk bersyukur kepada-Nya.
Syukur terhadap Allah menjadikan kenikmatan terus bertambah. Allah
SWT telah berfirman dalam (QS. Ibrahim: 7) yang artinya “sesungguhnya jika
kalian bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepada kalian”. Ungkapan
syukur tidak cukup hanya dengan ucapan, namaun harus disertai dengan perbuatan.
Perwujudan syukur bisa dengan hati, lidah dan anggota tubuh. Syukur dengan hati
ialah bermaksud untuk kebaikan dan menyebarkannya kepada semua orang.
Syukur dengan lidah menampakkan syukur itu kepada Allah dengan cara
memuji-Nya. Syukur dengan anggota tubuh ialah dengan mempergunakan kenikmatan
dari Allah untuk taat kepada-Nya dan tidak menggunakannya untuk
mendurhakai-Nya. Perwujudan syukur dengan mata ialah dengan menutupi aib yang
dilihatnya pada diri orang muslim lainnya.[5]
Perwujudan syukur telinga yakni dengan menutupi seetiap aib yang didengarnya.
Dalam pelaksanaannya, syukur terbagi menjadi dua yakni:
a.
Syukur
Wajib
Syukur
wajib adalah dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhi semua larangan.
Hal ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap kesehatan dan
kesempurnaan anggota badan, dan berbagai nikmat lainnya.
b.
Syukur
Sunah
Yaitu
dengan melaksanakan berbagai amanah yang sifatnya sunah. Tentunya, setelah
melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai larangan.[6]
3.
Cinta dan Ridha
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang
menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh
semangat dan rasa kasih sayang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu
pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Bagi
seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah SWT.
Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan
mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta
utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda,
kedudukan adlah cinta menengah yang harus berada dibawah cinta utama. Apabila
cinta menengah diangkat melebihi cinta utama maka cintanya jatuh menjadi hina,
tidak ada nilainya. Inilah yang disebut dengan cinta yang paling rendah.
Secara khusus dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an
bahwa Dia mencintai orang-orang dengan sifat dan amalan tertentu. Seperti
berbuat ihsan, bertaubat, bertaqwa, sabar, tawakal, berlaku adil, bersih,
berperang dijalan-Nya dan lain-lain.
Sejalan dengan cinta, seorang muslim harulah dapat bersikap ridha
dengan segala aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya dia harus menerima dengan
sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah
dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun peunjuk-petunjuk lainnya.[7]
4.
Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada
selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya.
Tawakal dan ikhtiar
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal
(ikhtiyar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil
berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa.
Hikmah tawakal, sikap tawakal sangat bermanfaat sekali untuk
mendapatkan ketenangan batin.[8]
D.
Akhlak madzmumah
Madzmumah sendiri memiliki
arti kekejian (radza’il), buruk atau tercela. Adapun semua biang sifat-sifat
buruk juga disebut dengan akhlak yang tercela yang dari padanya dapat terbentuk
sifat tercela yang menjijikan di dalam jiwa (khaba’its fi al-nafs), penyakit
dalam jiwa dan juga sifat yang merusak (shifat muhlikat).
Sehingga dengan demikian akhlak
madzmumah dapat didefinisikan dengan segala sesuatu yang tidak baik, yang tidak
seperti yang seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang
dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan,
tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari
baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang
berlaku.
Dengan demikian yang dikatakan buruk
itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai
kehadirannya oleh manusia. Dan daripadanya akan memberikan dampak negatif
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang berada disekitarnya.
Pendapat lain juga menyebutkan
bahwasanya yang disebut dengan akhlak madzmumah ialah semua sifat, perkataan
ataupun perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga
dianggap buruk atau tercela dan bernilai negatif.
Meskipun demikian menurut Al-Ghazali
asal mula yang menjadi biang dari adanya akhlak madzmumah tersebut yakni
kelobaan, ekses nafsu seksual, nafsu untuk berkata berlebihan, amarah hebat,
rasa iri, rasa dendam, cinta dunia, cinta harta, kebakhilan, kemegahan,
kesombongan, kecongkakan, dan penipuan terhadap diri sendiri, dan untuk
membuang biang-biang dari sifat tersebut dapat dilakukan dengan jalan riyadhah
dan membiasaan menahan diri atau mujahadah.
E.
Contoh akhlak madzmumah terhadap Allah SWT
Adapun diantara sikap dan perilaku manusia yang termasuk
bentuk dari akhlak tercela terhadap Allah SWT. Yaitu:
1.
Syirik
Syirik adalah suatu perbuatan (dalam sikap dan, atau niat) terutama menyangkut aqidah
di mana seseorang melakukan sesuatu bukan sepenuhnya karena Allah SWT - atau
secara sadar mencampur baurkan ke-esaan dzat Allah SWT dengan unsur-unsur lain
yang menurut ajaran Islam dapat diartikan sebagai perbuatan menyekutukan Alah
SWT. Syirik ada dua macam, yakni syirik besar dan syirik kecil.
Syirik besar yaitu jika
seorang hamba memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah SWT.
Maka, setiap ucapan atau perbuatan yang dicintai Allah jika ditujukan
kepada-Nya adalah tauhid dan iman, sedangkan jika dipalingkan kepada selain-Nya
ia berarti syirik dan kekufuran. Contohnya yakni meminta rizki atau kesehatan
kepada selain Allah, atau menggantungkan diri dan bersujud kepada selain Allah.
Allah berfirman dalam surat Al-Mu’min ayat 60 yang artinya “Dan Tuhanmu
berfirman, ‘berdoalah kepadaKu, niscaya akan kuperkenankan bagimu”. Jika doa,
tawakkal dan sujud termasuk ibadah yang diperintahkan Allah maka barang siapa
yang menujukannya kepada Allah berarti ia seorang mukmin. Dan sebaliknya,
barang siapa yang memalingkannya kepada selain Allah berarti ia seorang musyrik
dan kafir.
Adapun syirik kecil adalah setiap ucapan atau perbuatan yang
menjadi wasilah (perantara) dan jalan penyebab terjerumus kepada syirik besar.
Contoh syirik kecil yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’
(ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), yaitu melakukan amalan
sholat secara khusyuk karena hanya ingin dipandang baik oleh orang lain. Allah
SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 110 yang artinya “maka barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh
dan janganlah ia berbuat syirik sedikitpun dalam beribadah kepada Rabbnya”.[9]
2.
Riya’
Sifat
ria berhubungan erat dengan sifat sum’ah yang mana menurut imam
Ghazali ria berasal dari kata ru’ya yang berarti memperlihatkan, atau secara
jelasnya dapat difahami dengan “ingin dilihat orang-orang supaya mendapat
kedudukan atau pujian” sedangkan sum’ah berasal dari kata sama’ yang berarti
mendengar, memperdengarkan, atau juga menceritakan (amal kebaikan).
Sehingga
dari pemaknaan tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan sum’ah disini
yakni sifat suka menceritakan amal perbuatan agar didengar orang dengan maksud
untuk mendapatkan pujian atau simpati.
Dengan
demikian antara ria dan sum’ah, keduanya merupakan sifat tercela dan
menghilangkan sifat ikhlas karena amal kebaikan yang dilakukan tidak
semata-mata karena Allah SWT semata, tetapi karena ingin mendapat pujian atau
kekhawatiran mendapat celaan dari orang lain. Adapun hadits yang berkenaan
dengan larangan untuk berbuat ria dan sum’ah yakni arti dari salah satu hadits,
sebagai berikut:
Artinya:
“Barang
siapa (berbuat baik) karena ingin didengar oleh orang lain (sum’ah), maka Allah
akan memperdengarkan kejelekannya kepada orang lain. Dan barang siapa (berbuat
baik) karena ingin dilihat orang lain (ria) maka Allah akan memperlihatkan
kejelekannya kepada orang lain.” (H.R. Bukhari).
Adapun
sifat ria dan sum’ah akan membawa dampak buruk terhadap pelakunya, diantaranya
yaitu:
a.
Allah SWT tidak menerima sedikitpun
amalan ibadah dari pelaku ria, bahkan mereka akan menerima azab sebagai
balasannya, sebagaimana dijelaskan dalam.
b.
Mendapat dosa
besar karena ria termasuk perbuatan syirik kecil
c.
Menghapus pahala amal baik dan tidak
selamat dari bahaya kekafiran, karena ria sangat dekat dengan kekafiran.
3.
Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ kufur adalah
tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya, baik dengan mendustakannya
atau tidak mendustakannya.
Tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya baik dengan mendustakannya atau tidak
mendustakannya. Jenis Kufur antara lain:
a.
Kufur besar
Yaitu menolak kebenaran Islam
baik secara keseluruhan maupun sebagian, termasuk dalam hal ini ialah mengakui kebenaran Islam tetapi enggan
melaksanakannya. Kufur
besar menyebabkan pelakunya berada di luar dari Dienul Islam. Orang yang melakukan perbuatan kufur besar disebut kafir. Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan
terhadap Allah atau mendustakan yang hak (kenabian Nabi Muhammad SAW) tatkala
yang hak itu datang kepadanya? Bukankah
dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir? (QS. Al
‘Ankabuut: 68)
b.
Kufur kecil
Yaitu melakukan dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan As
Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar. Kufur kecil tidak menjadikan pelakunyaberada di luar
Dienul Islam. Orang yang melakukan perbuatan kufur kecil tidak disebut sebagai
kafir, namun tergolong sebagai pelaku dosa besar. Kufur kecil jika dilakukan
terus menerus dapat membuka jalan bagi pelakunya untuk melakukan perbuatan
kufur besar.
Dosa-dosa yang tergolong kufur kecil antara lain:
a)
Kufur nikmat.
“Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim:
7)
“Mereka
mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An Nahl: 83)
b)
Bersumpah dengan nama selain Allah.
“Barangsiapa
bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankannya, sertadishahihkan oleh Al Hakim)
Mengenai riwayat yang
menceritakan bahwa Nabi SAW membolehkan bersumpah atas nama orang tua (misalkan Demi Ayahnya), maka Syaikh Al Utsaimin (dalam
Fatwa-Fatwa Terkini, penerbit Darul Haq) menyebutkan bahwa ini termasuk Mutasyabih,
sementara masalah bersumpah atas nama selain Allah termasuk Muhkam. Disebut Mutasyabih karena terdapat banyak kemungkinan.
Bisa jadi hadits tersebut ada sebelum datangnya larangan tentang hal itu. Bisa
jadi juga ia khusus bagi Rasulullah SAW saja dalam mengungkapkan lafazh seperti
itu. Bisa jadi pula ia hanya merupakan sesuatu yang terbiasa diucapkan lisan
tanpa maksud sebenarnya.
Dalam
hal ini cara yang ditempuh oleh para ulama salafus shalih ialah meninggalkan
yang Mutasyabih, dan mengambil yang Muhkam. Hal ini senada dengan kandungan QS.
Ali Imran: 7. Sehingga menjadi kewajiban kita untuk
mengambil sesuatu yang sudah Muhkam, yaitu larangan bersumpah atas nama selain
Allah.
c)
Mengakui bapak kepada orang
yang bukan bapaknya padahal ia tahu.
Dari Abu Dzar, dia mendengar
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidak
ada seorang lelakipun yang mengakui bapak kepada orang yang bukan bapaknya
padahal ia tahu (kalau itu bukan bapaknya), kecuali dia telah kufur. ... (HR Bukhari)
d)
Kufur kepada suami dan
kebaikannya.
Nabi SAW bersabda: Aku
diperlihatkan neraka, tiba-tiba (aku lihat) kebanyakan penghuninya adalah
perempuan yang kufur. Kemudian Nabi SAW ditanya: Apakah mereka kufur kepada
Allah? Beliau SAW menjawab: Mereka kufur kepada suami dan kebaikannya. Jika
engkau berbuat baik kepada salah seorang diantara mereka selama setahun,
kemudian dia melihat sesuatu yang mengecewakan, dia akan berkata, Saya tidak
pernah melihat kebaikanmu sedikitpun. (HR. Bukhari)
e)
Membunuh orang Islam.
“Mencaci
orang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Janganlah
kalian sepeninggalku kembali lagi menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian
memenggal
leher sebagian yang lain.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang
muslim yang membunuh sesama muslim tidak lantas disebut kafir. Bahkan dalam QS.
Al Baqarah: 178 disebutkan kata saudara (seiman) antara si pembunuh dengan wali
yang berhak melakukan qishaash. Namun membunuh tetap merupakan dosa besar yang
tidak boleh dilakukan.
4.
Nifak
Nifak
dari segi bahasa memiliki arti berpura-pura pada agamanya. Sedangkan dari segi
istilah yaitu orang yang menyembunyikan kekafirannya namun menyatakan
keimanannya.
Menurut
Imam Ghozali dalam kitanbnya Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa kata munafik
adalah diambil dari kata Nafiqa’ul yarbu (liang binatang seperti tikus, kakinya
lebih panjang dari tangannya, ekor dan telinganya lebih panjang kalau
dibandingkan dengan tikus). Disebutkan bahwa yarbu memiliki dua buah liang,
sebuah disebut nafiqa’ dan sebuah lagi disebut qasia’. Dia bisa menampakkan
dirinya pada liang yang satu dan keluar lagi dari liang yang lain. Oleh karena
itulah orang yang berbuat demikian disebut munafik, sebab dia menampakkan
dirinya bahwa dia seorang yang Islam, tetapi dia keluar dari Islam itu kearah
kafir. Kemunafiksn itu ada dua macam:
a.
Kemunafikan yang mengeluarkan dari
agama dan mengantarkan orang kepada golongan orang-orang kafir serta membawa ke
dalam golongan orang-orang yang diabadikan di dalam neraka.
b.
Kemunafikan yang membimbing
pemiliknya ke neraka pada batas waktu tertentu atau mengurangi dari derajat
kemuliaan dan menurunkan dari tingkat sadiqin.
5.
Fasiq
Fasiq/Fasik (Bahasa Arab: فاسق) berasal dari akar kata fasaqa-yafsiqu/yafsuqu-fisqan-fusûqan. Secara
etimologis (bahasa), dalam ungkapan Arab, fasiq maknanya adalah keluar dari sesuatu atau keluar/menyimpang
dari perintah. Secara terminologis (istilah), orang fasiq adalah orang yang menyaksikan tetapi tidak meyakini
dan melaksanakan. Ia juga bermaksud melakukan maksiat, meninggalkan perintah
Allah, dan menyimpang dari jalan yang benar.
Sehingga seseorang dapat
disebut fasiq jika sering berbuat dosa.
Orang-orang yang terus menerus
melakukan dosa besar, menganggap dosa besar adalah hal yang biasa, dan menolak
untuk meninggalkan dosa besar, maka mereka dapat tertutup serta mati hatinya
sehingga bisa menjadi munafik dan kafir. “Dan
tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”, (QS. Al
Baqarah: 26)
“Sama
saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik”. (QS. Al
Munaafiquun: 6)
Sehingga istilah fasiq dapat
dibagi dua:
1. Fasiq kecil, yaitu orang
Islam yang sering berbuat maksiat namun masih memiliki iman dalam hatinya. “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (QS. An Nuur: 4)
2. Fasiq besar, yaitu orang
kafir dan munafik dimana mereka sudah tidak memiliki iman dalam hatinya. “Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat
mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka
dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: Rasakanlah siksa neraka
yang dahulu kamu mendustakannya”. (QS. As Sajdah: 20)
“Orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan
mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka
Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang
yang fasik”. (QS. At Taubah: 67)
Namun
pada umumnya, jika para ulama menyebut istilah fasiq tanpa tambahan kata
besar/kecil maka yang dimaksudkan ialah fasiq kecil.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Akhlak menurut bahasa adalah tingkah
laku, perangai atau tabiat. Sedangkan meurut istilah daya kekuatan jiwa yang
mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi.
Akhlak terhadap Allah yaitu sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik.
Akhlak dibagi menjadi 2 yaitu,
akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah. Akhlak mahmudah yaitu segala tingkah
laku yang terpuji, dapat disebut juga dengan akhlak fadhilah, akhlak utama. Contoh
dari akhlak mahmudah terhadap Allah yaitu Takwa, Syukur, Cinta dan Ridha,
Tawakal.
Sedangkan
akhlak madzmumah yaitu segala sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang
seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai,
tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat
disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan
perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Contoh
dari akhlak madzmumah terhadap Allah yaitu, Syirik, Riya’, Kufur, Nifak dan
Fasiq.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Rasyid, 1989, Akhidah Akhlak, Bandung: Husaini
Al-Bugha Musthafa Dieb, 2003, Al-Wafi, Jakarta: Al-I’tishom
Ilyas Yunahar,
2012, Kuliah Akhlak, Cet XII, Yogyakarta: LPPI
Shalih bin
Fauzan, 2002, Kitab Tauhid, Jakarta: Al-Sofwa
Tim P3KMI, 2012, Buku Panduan
P3KMI, Cet I, Yogyakarta: Cipta Media Aksara
Qudamah Ibnu, 1997, Minhajul Qashidin, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
[1]
http://hisbulah.blogspot.com/2011/03/akhlak-seorang-muslim-kepada-allah-swt.html
[2] Yunahar Ilyas,
Kuliah Akhlak, Cet XII, (Yogyakarta: LPPI, 2012), hlm 17-20
[3] Tim P3KMI, Buku
Panduan P3KMI, Cet I, (Yogyakarta, Cipta Media Aksara, 2012), hlm 138-140
[4] Yunahar Ilyas,
hlm 22-24
[5] Ibnu Qudamah, Minhajul
Qashidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hlm.348.
[6] Musthafa Dieb
Al-Bugha, Al-Wafi, (Jakarta: Al-I’tishom, 2003), hlm.211-212.
[7] Yunahar Ilyas,
hlm 24-28
[8]Yunahar Ilyas,
hlm 44-49
[9] Shalih bin Fauzan, Kitab Tauhid,
(Jakarta: Al-Sofwa, 2002), hlm.5-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar