BAB I
PENDAHULUAN
Iman sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, namun pada bab ini
permasalahan yang diangkat berbeda dengan permasalahan sebelumnya, dimana pada
pembahasan sebelumnya disebutkan (memberi makan adalah sebagian dari iman).
Seakan-akan beliau mengatakan bahwa kecintaan disini adalah sebagian dari iman.
Iman adalah
percaya dan meyakini bahwa Allah SWT dalah Tuhan semesta alam. Sedangkan taqwa
adalah mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Masalah iman dan taqwa
ini sangat menarik untuk dibicarakan, terutama dalam implementasi di kehidupan
sosial modern seperti saat ini. Semakin berkembangannya dunia saat ini selain
berdampak positif, juga berdampak negatif. Dalam kehidupan modern ini, iman dan
taqwa sangat diperlukan untuk mnguatkan landasan hidup bagi manusia.
Tetapi
kenyataannya saat ini banyak orang yang mengaku beriman tetapi mereka jarang
sekali menerapkan iman dan tetaqwaan mereka dalam kehidupan. Sedangkan mereka
sendiri mengaku sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah
SWT. Kehidupan modern telah membuat sebagian masyarakat lupa akan hakikat
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang wajib beriman dan bertaqwa
kepada-Nya. Mereka sibuk mencari kepuasan dan kenikmatan duniawi. Mereka lebih
mementingkan kebutuhan materi bandingkan dengan kebutuhan rohani. Semua rela
mereka korbankan hanya untuk memenuhi hawa nafsu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HADIS KE-1
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأِخِيهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ ( رواه البخار و أحمد و النسا ئى )
Artinya:
Dari Anas r.a dari Nabi s.a.w bersabda, “Tidak sempurna keimanan
seseorang dari kalian sebelum ia mencintai saudaranya (sesama muslim)
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Mufrodat:
لاَيُؤْمِنُ : Tidak beriman
اَحَدُكُمْ : Salah satu dari kalian
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ : Mencintai
dirinya sendiri
Penjelasan:
Apabila dikatakan, bahwa seseorang yang tidak melaksanakan perintah
dalam hadis ini (mencintai saudaranya), berarti imannya belum sempurna walaupun
tidak melaksanakan rukun iman yang lain. Seseorang tidak akan mencapai hakikat
keimanan, maksudnya adalah kesempurnaan iman. Tetapi orang yang tidak melakukan
apa yang ada dalam hadis ini, dia tidak menjadi kafir.[1]
B.
HADIS KE-2
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍورَضِيَ الله عنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ ويَدِهِ والْمُهَاجِرُمَنْ هَجَرَمَانَهَى الله عَنْهُ
(رواه البخارى وأبو داود
والنسائى )
Artinya:
Dari Abdullah bin Amru r.a dari Nabi s.a.w bersabda, “Orang muslim
itu adalah orang yang menyelamatkan semua orang Islam dari bencana akibat
ucapan dan perbuatan tangannya. Dan orang mujahir adalah orang yang
meninggalkan segala larang Allah.”
Mufrodat:
سَلِمَ : Menyelamatkan
هَجَرَ : Meninggalkan
Penjelasan:
Al Khathathabi mengatakan bahwa muslim yang paling utama adalah
muslim yang mampu melaksanakan semua kewajibannya untuk memenuhi hak-hak kepada
Allah dan hak-hak sesamanya. Mungkin juga maksud bab ini adalah untuk
menunjukkan kriteria seseorang muslim yang dapat menunjukkan keislamannya,
yaitu mampu menyelamatkan kaum muslimin dari bencana akibat ucapan lidah dan
perbuatan tangannya. Atau mungkin juga merupakan dorongan bagi seorang muslim
untuk berlaku dan budi pekerti yang baik kepada Tuhannya, karena apabila
seorang muslim berlaku baik terhadap sesamanya, maka sudah barang tentu ia
berperilaku baik kepada Tuhannya.
Ada pengecualian dalam hadis diatas, yaitu memukul dengan tangan
untuk melaksanakan hukuman terhadap orang muslim yang berhak menerimanya, sebagaimana
yang ditentukan oleh syariat.
Lain halnya dengan ucapan yang mengandung ejekan atau menguasai hak
ornag lain secara paksa, kedua prilaku tersebut termasuk bencana lidah dan
tangan yang harus dihindari oleh seorang muslim.
Ada dua macam bentuk hijrah, yaitu:
1.
Hijrah
zhahirah, yaitu pergi meninggalkan tempat
untuk menghindari fitnah demi mempertahankan agama.
2.
Hijrah
bathinah, yaitu meninggalkan perbuatan yang
dibisikkan oleh nafsu amarah dan syetan.
Seakan-akan orang-orang yang berhijrah diperintahkan seperti itu,
agar hijrah yang mereka lakukan tidak hanya berpindah tempat saja, tetapi lebih
jauh dari itu, mereka benar-benar melaksanakan perintah syariat dan
meninggalkan larangannya memang orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh
Allah berarti ia telah melaksanakan hakikat hijrah.[2]
C.
HADIS KE-3
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ
الْاَخِرِفَلَايُؤْذِجَارَه وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ
فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ
الْاَخِرِفَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
(رواه البخارى ومسلم وابن ماجه)
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya,
dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
berkata baik atau diam”.
Mufrodat:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ
(barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir). Maksudnya,
barang siapa beriman kepada Allah yang menciptakannya dan beriman bahwa Dia
akan membalasnya dengan amalan-amalannya, maka hendaklah ia melakukan hal-hal
yang telah disebutkan.
فَلَايُؤْذِجَارَه (maka
jaganlah dia menyakiti tetanggamu)
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ (barang siapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah memuliakan tamunya)
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الْاَخِرِفَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ (dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah mengatakan yang baik
atau diam). Kata lisyasmut boleh dibaca lisyasnit. Ini termasuk ‘jawami’
al kalim (kata-kata yang singkat dan penuh makna), karena perkataan dapat
digolongkan kepada yang baik buruk. Apabila seseorang terjerumus ke dalam
perkataan-perkataan yang buruk maka dia diperintahkan untuk diam.
Penjelasan:
Dalam hadis ini dapat diambil point:
1.
Menyambung
kekeluargaan adalah suatu kewajiban agama, baik dengan keluarga dekat maupun
keluarga jauh.
2.
Berbicara
dengan baik, sopan dan lemah lembut adalah kepribadian seorang mukmin.
3.
Sebelum
melontarkan suatu pekerjaan, hendaklah dipikirkan lebih dahulu kemungkinan
akibatnya.
4.
Disebutkannya
dalam hadis ini “beriman kepada hari akhir” sesudah beriman kepada Allah,
menunjukkan kuatnya pengaruh iman kepada hari akhir itu kebaikan sikap, ucapan
dan tingkah laku.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Dalam
hadis pertama, menganjurkan untuk mencintai saudara seperti mencintai dirinya
sendiri. Mencintai ini karena ketaqwaan, kebaikan, ketaatannya. Jika tidak
melakukan yang dianjurkan maka imannya belum sempurna.
2.
Untuk
menjadi muslim yang paling utama adalah muslim yang mampu melaksanakan semua
kewajibannya untuk memenuhi hak-hak kepada Allah dan kepada sesamanya. Mampu
menyelamatkan muslim lainnya dari bahaya tangan dan lidah. Hijrah ada 2 jenis,
yaitu hijrah zhahirah dan hijrah bathinah.
3.
Dalam
hadis ketiga terdapat larangan menyakiti tetangganya dengan lidah dan tangan.
Hendaklah memuliakan tamunya. Dan hendaklah berkata baik atau diam, dengan cara
membiasakan berkata baik dan sebelum berkata dipikirkan lebih dahulu
kemungkinan akibatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqolani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baahri Penjelasan Kitab
Shahih Bukhori. Jakarta: Pustaka Azzam
[1] Ibnu
Hajar Al-Asqalani. Fathur Baahri Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhori. (Jakarta:
Pustaka Azzam 2002). Hlm. 95
[2] Ibid.
hlm. 90
[3] Ibid,.
hlm. 154-160
Assalamulaikum wr. br...
BalasHapusmohon maaf sebelumnya saudari Fidia Astuti,
saya sudah membaca blog Anda. saya sangat tertarik, mukin jikalau Anda tidak keberatan, saya meminta nomor kontak atau E-mail anda. saya: M Galib Mokan, 082397961002