Ikhlas

Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis 2
Dosen Pengampu:
Supriyanto, M.Ud
Disusun Oleh:
Evie Nur Azizah (123
111
Fidia Astuti (123
111 163)
Ihsan (123
111
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014
PEMBAHASAN
A.
Hadis
1
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَ أَوِ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخارى
ومسلم)
Artinya:
Dari Amirul
Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku
pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya
amal
perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan
sesuai niatnya. Barangsiapa yang
berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan
Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena perkara dunia atau karena
wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi
tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Mufradatul Hadits
الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ :
Semua perbuatan tergantung niatnya
امْرِئٍ : Manusia
هِجْرَتُهُ : Hijrah
لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَ :
Untuk perkara dunia
Urgensi Hadis
Hadis ini
sangat penting karena menjadi orientasi seluruh hukum dalam Islam.[2]
Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Hadis tentang niat ini mencakup sepertiga
ilmu.” Begitu pula kata Imam Baihaqi dan lain-lain. Hal ini karena perbuatan
manusia terdiri dari niat dalam hati, ucapan, dan tindakan. Sedangkan niat
merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Syafi’i, katanya:
“Hadis ini mencakup tujuh puluh bab fiqih.”[3]
Sababul Wurud
Imam
At-Thabrani meriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Diantara kami ada seorang
laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu
menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah
dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”[4]
Kandungan Hadits
1. Syarat niat
Tentang
sabda Rosulullah “semua amal tergantung niatnya”, para ulama berbeda
pendapat tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat itu sebagai
syarat, yaitu amal itu sah hanya apabila disertai niat, dan sebagian lainnya
memahami niat itu sebagai penyempurna, maksudnya amal itu menjadi sempurna bila
disertai niat.[5]
Para
ulama sepakat bahwa perbuatan seorang mukmin tidak akan diterima dan tidak akan
mendapatkan pahala kecuali jika diiringi dengan niat. Dalam ibadah inti,
seperti: Shalat, Haji, Puasa, niat merupakan rukun. Adapun dalam ibadah yang
merupakan sarana dari ibadah inti, seperti: wudhu dan mandi.[6]
2.
Waktu
dan tempat niat
Waktu
niat adalah di awal ibadah atau sebelum melakukan suatu kegiatan. Niat
bertempat di hati, jadi tidak disyaratkan untuk diucapkan. Namun demikian,
boleh saja diucapkan. Juga disyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang
hendak dilakukan. Jadi tidak cukup hanya dengan niat melakukan shalat (secara
umum), namun harus ditentukan, shalar ashar atau dhuhur atau yang lain.[7]
3. Keharusan hijrah
Hijrah ialah berpindah dari Makkah ke Madinnah,
hal ini sebelum ditaklukkannya kota Makkah merupakan suatu kewajiban, adapun
sesudahnya maka tidak diwajibkan lagi karena ada hadis yang mengatakan:
لَاهِجْرَةَبَعْدَالْفَتْحِ
Tiada
hijrah sesudah kemenangan (atas kota Makkah).[8]
Kata Hijrah juga dipergunakan untuk hal-hal
yang dilarang Allah. Orang yang menjauhi hal-hal yang dilarang Allah, disebut Muhajir.
Begitu juga dengan seorang muslim yang tidak mau menegur saudaranya sesama
muslim selama tiga hari. Seorang muslim kadang-kadang diharuskan untuk menjauhi
saudaranya yang berbuat maksiat, ia juga diperbolehkan menjauhi istrinya yang
tidak taat kepadanya, sebagai pelajaran bagi si istri.[9]
4. Orang yang berniat melakukan kebaikan, namun
karena suatu hal (misalnya meninggal dunia atau sakit), sehingga ia tidak bisa
melaksanakannya, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Al-Baidhawi berkata,
“Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena, niat
tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan
niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh,
dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.
5. Hadits ini mendorong kita untuk ikhlas dalam
segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan
kebahagiaan di dunia.
6. Semua perbuatan baik dan bermanfaat, jika
diiringi niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhaan Allah, maka perbuatan
tersebut adalah ibadah.[10]
B.
Hadis 2
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ. قَالُوْا : وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ, يَا
رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ, يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمُ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِيْنَ
كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ
جَزَاءً؟. (رواه أحمد)
Artinya:
Dari Mahmud bin Labib berkata dari Rosulullah SAW bersabda Sungguh
yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Mereka para
sahabat bertanya: Apa syirik kecil itu, ya Rosulullah? Nabi menjawab syirik
kecil itu Riya, sungguh Allah yang maha memberi berkah dari maha tinggi
berfirman pada hari dibalasnya hamba-hamba berdasarkan perbuatan mereka.
Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian perlihatkan amal kalian saat di
dunia. Maka lihatlah kalian apakah kalian memperoleh balasan dari sisi mereka?.
(HR. Ahmad)
Mufradatul Hadits
Keterangan Hadits
Lawan dari
ikhlas adalah riya, yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tapi karena
ingin dipuji atau karena pamrih. Pada asalnya orang yang riya adalah orang yang
ingin memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dilakukannya. Niatnya
sudah bergeser, bukan lagi mencari keridhaan Allah, tapi mengharapkan pujian
orang lain. Rosulullah pun paling mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi pada
umatnya.
Riya atau
syirik kecil akan menghapus pahala amalan seseorang. Rasulullah menggambarkan
bahwa di akhirat nanti ada beberapa orang yang dicap oleh Allah sebagai
pendusta, karena ada yang mengaku berperang pada jalan Allah hingga mati
syahid, padahal dia berperang hanya karena ingin dikenal sebagai seorang
pemberani, dan ada yang mengaku mempelajari ilmu pengetahuan, mengajarkannya
dan membaca Al-Qur’an karena Allah, padahal dia hanya ingin dikenal sebagai
orang alim, dan ada pula yang mengaku mendermakan hartanya untuk mencari ridha
Allah, padahal dia hanya ingin disebut dermawan. Amalan yang seperti itu
ditolak Allah.
Riya
menyebabkan seseorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan dalam
beramal, dia akan patah semangat apabila tidak ada yang memujinya. Sebaliknya
jika menerima pujian dan sanjungan dia akan sombong dan lupa diri. Keduanya
jelas merugikannya. Berbeda dengan orang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian
dan tidak patah semangat dengan kritikan.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Al ‘Ied, Ibnu Daqiq. 1995. Syarah Hadis Arba’in Imam Nawawi. Terjemahan
oleh Muhammad Thalib. 2001. Yogyakarta: Media Hidayah.
Ali Nashif, Syekh Manshur. 2002. Mahkota Pokok-pokok Hadits
Rosulullah. Bandung: Sinar Baru.
Dieb Al-Bugha, Musthafa dan Muhyiddin Mistu. 1998. Al-Wafi: Fi
Syarhil Arba’in An-Nawawiyah. Terjemahan oleh Muhil Dhofir. 2003. Jakarta:
Al-I’tishom.
Ilyas, Yunahar. 2012. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI.
[1]
Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in
An-Nawawiyah, Cet 10, Terjemah Muhil Dhofir, (Jakarta: Al-I’tishom, 2003),
hlm 1.
[2]
Ibid, hlm 2.
[3]
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, Syarah Hadis Arba’in Imam Nawawi, Terjemah oleh
Muhammad Thalib, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2001), hlm 16.
[4]
Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in
An-Nawawiyah, hlm 3.
[5]
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, Syarah Hadis Arba’in Imam Nawawi, hlm 18.
[6] Musthafa
Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah,
hlm 4.
[7] Ibid, hlm
4.
[8] Syekh
Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rosulullah, (Bandung:
Sinar Baru, 2002), hlm 111.
[9]
Musthafa
Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah,
hlm 4-5.
[11]
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI, 2012), hlm 34-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar