Selasa, 15 April 2014

Makalah Hadis Tentang Ikhlas



Ikhlas
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis 2
Dosen Pengampu: Supriyanto, M.Ud

Disusun Oleh:
Evie Nur Azizah                        (123 111
Fidia Astuti                    (123 111 163)
Ihsan                              (123 111


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014


PEMBAHASAN

A.    Hadis 1

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَ أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).  (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Mufradatul Hadits
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ     : Semua perbuatan tergantung niatnya
امْرِئٍ                 : Manusia
هِجْرَتُهُ               : Hijrah
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَ                   : Untuk perkara dunia
Urgensi Hadis
Hadis ini sangat penting karena menjadi orientasi seluruh hukum dalam Islam.[2] Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Hadis tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata Imam Baihaqi dan lain-lain. Hal ini karena perbuatan manusia terdiri dari niat dalam hati, ucapan, dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Syafi’i, katanya: “Hadis ini mencakup tujuh puluh bab fiqih.”[3]

Sababul Wurud
Imam At-Thabrani meriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Diantara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”[4]

Kandungan Hadits
1.      Syarat niat
Tentang sabda Rosulullah “semua amal tergantung niatnya”, para ulama berbeda pendapat tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat itu sebagai syarat, yaitu amal itu sah hanya apabila disertai niat, dan sebagian lainnya memahami niat itu sebagai penyempurna, maksudnya amal itu menjadi sempurna bila disertai niat.[5]
Para ulama sepakat bahwa perbuatan seorang mukmin tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika diiringi dengan niat. Dalam ibadah inti, seperti: Shalat, Haji, Puasa, niat merupakan rukun. Adapun dalam ibadah yang merupakan sarana dari ibadah inti, seperti: wudhu dan mandi.[6]
2.      Waktu dan tempat niat
Waktu niat adalah di awal ibadah atau sebelum melakukan suatu kegiatan. Niat bertempat di hati, jadi tidak disyaratkan untuk diucapkan. Namun demikian, boleh saja diucapkan. Juga disyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang hendak dilakukan. Jadi tidak cukup hanya dengan niat melakukan shalat (secara umum), namun harus ditentukan, shalar ashar atau dhuhur atau yang lain.[7]
3.      Keharusan hijrah
Hijrah ialah berpindah dari Makkah ke Madinnah, hal ini sebelum ditaklukkannya kota Makkah merupakan suatu kewajiban, adapun sesudahnya maka tidak diwajibkan lagi karena ada hadis yang mengatakan:
لَاهِجْرَةَبَعْدَالْفَتْحِ
Tiada hijrah sesudah kemenangan (atas kota Makkah).[8]
Kata Hijrah juga dipergunakan untuk hal-hal yang dilarang Allah. Orang yang menjauhi hal-hal yang dilarang Allah, disebut Muhajir. Begitu juga dengan seorang muslim yang tidak mau menegur saudaranya sesama muslim selama tiga hari. Seorang muslim kadang-kadang diharuskan untuk menjauhi saudaranya yang berbuat maksiat, ia juga diperbolehkan menjauhi istrinya yang tidak taat kepadanya, sebagai pelajaran bagi si istri.[9]
4.      Orang yang berniat melakukan kebaikan, namun karena suatu hal (misalnya meninggal dunia atau sakit), sehingga ia tidak bisa melaksanakannya, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Al-Baidhawi berkata, “Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.
5.      Hadits ini mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia.
6.      Semua perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringi niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhaan Allah, maka perbuatan tersebut adalah ibadah.[10]


B.     Hadis 2
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ. قَالُوْا : وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ, يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ, يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمُ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً؟. (رواه أحمد)

Artinya:
Dari Mahmud bin Labib berkata dari Rosulullah SAW bersabda Sungguh yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Mereka para sahabat bertanya: Apa syirik kecil itu, ya Rosulullah? Nabi menjawab syirik kecil itu Riya, sungguh Allah yang maha memberi berkah dari maha tinggi berfirman pada hari dibalasnya hamba-hamba berdasarkan perbuatan mereka. Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian perlihatkan amal kalian saat di dunia. Maka lihatlah kalian apakah kalian memperoleh balasan dari sisi mereka?. (HR. Ahmad)

Mufradatul Hadits
Keterangan Hadits
Lawan dari ikhlas adalah riya, yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tapi karena ingin dipuji atau karena pamrih. Pada asalnya orang yang riya adalah orang yang ingin memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dilakukannya. Niatnya sudah bergeser, bukan lagi mencari keridhaan Allah, tapi mengharapkan pujian orang lain. Rosulullah pun paling mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi pada umatnya.
Riya atau syirik kecil akan menghapus pahala amalan seseorang. Rasulullah menggambarkan bahwa di akhirat nanti ada beberapa orang yang dicap oleh Allah sebagai pendusta, karena ada yang mengaku berperang pada jalan Allah hingga mati syahid, padahal dia berperang hanya karena ingin dikenal sebagai seorang pemberani, dan ada yang mengaku mempelajari ilmu pengetahuan, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an karena Allah, padahal dia hanya ingin dikenal sebagai orang alim, dan ada pula yang mengaku mendermakan hartanya untuk mencari ridha Allah, padahal dia hanya ingin disebut dermawan. Amalan yang seperti itu ditolak Allah.
Riya menyebabkan seseorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan dalam beramal, dia akan patah semangat apabila tidak ada yang memujinya. Sebaliknya jika menerima pujian dan sanjungan dia akan sombong dan lupa diri. Keduanya jelas merugikannya. Berbeda dengan orang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian dan tidak patah semangat dengan kritikan.[11]


 
DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Ied, Ibnu Daqiq. 1995. Syarah Hadis Arba’in Imam Nawawi. Terjemahan oleh Muhammad Thalib. 2001. Yogyakarta: Media Hidayah.
Ali Nashif, Syekh Manshur. 2002. Mahkota Pokok-pokok Hadits Rosulullah. Bandung: Sinar Baru.
Dieb Al-Bugha, Musthafa dan Muhyiddin Mistu. 1998. Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah. Terjemahan oleh Muhil Dhofir. 2003. Jakarta: Al-I’tishom.
Ilyas, Yunahar. 2012. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI.



[1] Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, Cet 10, Terjemah Muhil Dhofir, (Jakarta: Al-I’tishom, 2003), hlm 1.
[2] Ibid, hlm 2.
[3] Ibnu Daqiq Al ‘Ied, Syarah Hadis Arba’in Imam Nawawi, Terjemah oleh Muhammad Thalib, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2001), hlm 16.
[4] Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, hlm 3.
[5] Ibnu Daqiq Al ‘Ied, Syarah Hadis Arba’in Imam Nawawi, hlm 18.
[6] Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, hlm 4.
[7] Ibid, hlm 4.
[8] Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rosulullah, (Bandung: Sinar Baru, 2002), hlm 111.
[9] Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, hlm 4-5.
[10] Ibid, hlm 5.
[11] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI, 2012), hlm 34-37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...