Selasa, 28 Oktober 2014

Materi FIQIH "Munakahat"



A.    Pengertian
Munakahat adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang pernikahan, berasal dari akar kata Nahana yang secara leksikal berarti menindih atau menghimpit. Sedang menurut kamus bahasa Indonesia nikah berarti berkumpul atau bersatu. Adapun pengertian secara istilah menurut syariat Islam adalah akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan, serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama untuk membangun bahtera keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah berdasarkan syariat Islam.

B.     Hukum Nikah
Nikah merupakan sunnah Rasulullah, sebagaimana yang beliau sabdakan: “Nikah adalah sunnahku, barang siapa membenci sunnahku, maka bukan tergolong ummatku”. Menurut sebagian ulama, nikah hukumnya mubah. Meskipun demikian, ditinjau dari kondisi orang yang akan melakukan hukum nikah ada lima, yakni:
1.      Jaiz/mubah, artinya tiap orang yang memenuhi syarat dan rukun nikah, halal menikah.
2.   Sunah, yaitu apa bila mereka yang akan melakukan nikah sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menikah dan mampu pula mengendalikan diri dari berbuat zina.
3.      Wajib, bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina kalau tidak segera menikah.
4.      Makruh, bagi orang yang ingin menikah tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya.
5.      Haram, bagi orang yang bermaksud untuk menyakiti wanita yang akan ia nikahi.

C.    Tujuan Pernikahan
Dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama, maka tujuan pernikahan antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang. Allah berfirman:
Ÿ
Artinya:
“Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Ruum: 21)
2.      Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah). Firman Allah:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum: 21)
3.      Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara syah dan diridhoi Allah.
4.      Untuk memperoleh keturunan yang syah dalam agama dan masyarakat. Allah berfirman:

Artinya: “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46)
5.      Untuk mewujudkan keluarga bahagia dunia akhirat.



D.    Peminangan
Sebelum pernikahan berlangsung, terlebih dahulu diadakan peminangan. Dalam ilmu fiqih peminangan disebut khittbah, adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya, baik secara langsung oleh si peminang maupun oleh orang lain yang mewakilinya.
Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu atau berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini biasanya si peminang (calon suami) memberikan sesuatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta. Pemberian ini dalam adat Jawa disebut Peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan mereka tidak boleh bergaul sebagai suami istri, karena mereka belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larangan agama yang berlaku dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Salah satu pihak yang bertunangan boleh memutuskan hubungan pertunangannya sehingga tidak terjadi pernikahan asal mempunyai alasan yang dibenarkan oleh syarak.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1.      Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i, dan wanita yang sudah bertunangan.
2.      Yang haram dipinang secara terus terang, tetapi boleh dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak ba’in (talak tiga).
E.     Rukun Nikah
Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu syah. Ada lima macam rukun nikah ialah:
1.    Ada calon suami, syaratnya: dewasa, islam, tidak dipaksa, tidak dalam ihrom haji atau umroh, bukan mahrom.
2.    Ada calon istri, syaratnya: dewasa, belum bertunangan, bukan mahrom, Tidak bersuami, tidak dalam ihrom haji atau umroh.
3.      Ada wali nikah, wali ini dari pihak calon istri.
4.      Ada dua orang saksi, dengan syarat beragama islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, adil, dan tidak sedang ihrom haji atau umrah.
5.    Ada aqad nikah/sighot/ijab qobul, ijab diucapkan oleh wali sedang qabul diucapkan mempelai laki-laki.
Disamping itu ada syarat sebelum pernikahan yang harus diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang disebut mahar. Firman Allah:

Artinya: “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-nisa’: 4)
Setelah selesai akad nikah diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukumnya adalah sunnah muakkad. Rasulullah SAW bersabda: ”Adakanlah walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing.” (H.R. Bukari dan Muslim)


F.     Masalah Wali
Wali nikah ada dua macam, yakni:
1.      Wali nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun urutannya adalah sebagai berikut:
a.       Ayah kandung
b.      Kakek (ayah dari ayah) terus ke atas dari garis laki-laki.
c.       Saudara laki-laki sekandung
d.      Saudara laki-laki seayah
e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g.      Saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
h.      Saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
i.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
j.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
2.      Wali hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam. Di Indonesia wewenang presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada menteri Agama, sampai kepada KUA yang ada di kecamatan-kecamatan.

G.    Muhrim
Menurut istilah dalam ilmu fiqih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Ada empat muhrim yaitu:
1.      Wanita yang haram dinikahi karena nasab/keturunan:
a.       Ibu kandung dan seterusnya keatas (nenek dari ibu/ayah).
b.      Anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah (cucu dan seterusnya).
c.       Saudara perempuan (sekandung, seayah, seibu).
d.      Saudara perempuan dari bapak.
e.       Saudara perempuan dari ibu.
f.       Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g.      Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
2.      Wanita yang haram dinikahi karena sepersusuan
a.       Ibu yang menyusui.
b.      Saudara perempuan sepersusuan.
3.      Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan
a.       Ibu dari isteri (mertua).
b.      Anak tiri, apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
c.      Ibu tiri (isteri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum. Firman Allah yang artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu.”
d.      Menantu (isteri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4.      Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan isteri.
Misalnya, haram melakukan poligami dengan dua orang yang bersaudara (kakak beradik), terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.

H.    Kewajiban suami dan isteri
Kewajiban-kewajiban harus dipenuhi dalam rangka mencapai keharmonisan keluarga. Kewajiban suami adalah hak isteri, begitu pula kewajiban isteri adalah hak suami.
1.      Kewajiban suami
a.       Memberi nafkah sandang, pangan, tempat tinggal sesuai dengan kemampuan.
b.      Memimpin dan membimbing isteri dan anak-anaknya agar menjadi generasi yang sholeh.
c.       Bergaul dengan isteri dan anak-anaknya dengan baik.
d.      Memelihara anak-anak dan isteri dari mara bahaya baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrowi.
e.       Memberi nafkah batin.
2.      Kewajiban isteri
a.       Taat kepada suami selama dalam koridor Islam.
b.      Memelihara diri dan kehormatan dan harta benda suami.
c.       Membantu suami dalam memimpin bahtera keluarga.
d.      Menerima dan menghormati pemberian suami yang sudah berusaha secara maksimal dengan ikhlas.
e.       Hormat dan sopan kepada suami.
f.       Memelihara, mendidik, mengasuh anak-anak agar menjadi anak yang sholeh.
g.      Memberi nafkah batin kepada suami.
3.      Kewajiban bersama-sama suami/isteri
a.       Saling menghargai dan menghormati.
b.      Saling menyadari kekurangan masing-masing.
c.       Saling mencitai dengan mawadah wa rohmah.
d.      Saling membantu tugas masing-masing.

I.       Perceraian
Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Adapun hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah sebagai berikut.
1.      Talak
Talak, berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela dan sadar dari suami kepada isteri. Rukun talak ada tiga, adalah:
a.       Yang menjatuhkan talak suami, syarat: berakal, kehendak sendiri.
b.      Yang dijatuhi talak adalah isteri.
c.       Ada ucapan talak, baik secara shorih (terang-terangan), maupun secara kinayah (sindiran). Talak shorih misalnya: “saya talak engkau”, atau “saya cerai engkau.” Cara kinayah misalnya: “pulanglah engkau keorang tuamu.!” Maka telah jatuhlah talak pertama.
Macam-macam talak:
a.       Menurut lafadhnya
1)      Dengan lafadh shoreh (jelas/terang-terangan).
2)      Dengan lafadh kinayah (sindiran).
b.      Menurut jenisnya
1)      Talak mati, yakni talak karena suami mati.
2)     Talak hidup, talak disebabkan karena beberapa sebab. Talak ini ada dua macam, adalah sebagai berikut:
-        Talak raj’i, talak yang dijatuhkan suami kepada isteri untuk pertama kali atau kedua kalinya, dan suami masih boleh rujuk selama dalam masa iddah.
-        Talak ba’in, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk kepada isteri yang ditalaknya itu, namun boleh nikah baru dengan ketenruan sebagai berikut:
·         Isteri sudah dinikahi orang lain.
·         Isteri sudah dicampuri suami yang baru.
·         Isteri sudah dicerai suaminya.
·         Sudah habis masa iddahnya (ini semua tidak boleh direkayasa).
c.       Menurut waktunya
1)      Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan sudah pernah dicampuri.
2)      Talak tebus, adalah talak yang dijatuhkan atas kehendak isteri dengan jalan rafa’, menggugat lewat hakim. Talak ini isteri membayar iwad/tebusan.
2.      Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami isteri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh pengadilan agama karena adanya pengaduan dari isteri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan. Sebab-sebab fasakh dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Sebab-sebab yang dapat merusak akad nikah
1)      Isteri/suami termasuk mahrom.
2)      Suami/isteri murtad.
3)    Keduanya mula-mula musyrik, kemudian salah satunya jadi muslim, sedang yang satu tetap musyrik.
b.      Sebab-sebab yang menghalangi tercapainya tujuan pernikahan.
1)    Cacat yang menimpa pada salah satu pihak. Misalnya gila, atau penyakit-penyakit lain, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana suami isteri.
2)      Isteri tidak dapat nafkah (belanja) dari suami.
3)   Ada unsur penipuan. Misalnya, ketika akad nikah berlangsung mengaku sebagai pejabat, namun kenyataannya hanya sopirnya.
4)      Suami dinyatakan hilang.
3.      Khuluk
Menurut bahasa, khuluk berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khuluk adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya dengan jalan tebusan dari pihak isteri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya atau dengan memebrikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
4.      Li’an
Li’an adalah sumpah suami yang menuduh isterinya berzina. Karena suami tidak dapat mengajukan empat orang saksi yang melihat isterinya berzina, maka suami harus mengangkat sumpah empat kali di depan hakim dan ditutup yang kelima kali dengan ucapan: “laknat/kutukan Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku ini dusta.
5.      Ila’
Ila’ berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri isterinya selama empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tersebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan ia kembali kepada isterinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat). Jika sampai empat bulan dia tidak kembali pada isterinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih diantara dua hal, yaitu kembali kepada isterinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak isterinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan pilihannya, maka hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak isterinya dengan talak ba’in sughro sehingga tidak dapat rujuk lagi.
Adapun kafarat sumpah ila’ yang harus dipenuhi oleh suami, boleh memilih diantara tiga hal tersebut.
a.       Memberi makan sepuluh orang miskin, setiap orang ¾ liter beras.
b.      Memberi pakaian pantas kepada sepuluh orang miskin.
c.       Memerdekakan seorang hamba sahaya.
Jika tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga alternatife tersebut diatas, maka ia harus berpuasa tiga hari.
6.      Zhihar
Zhihar adalah ucapan suami yang menyerupakan isterinya sama dengan ibunya, seperti suami berkata kepada isterinya: “bagiku punggungmu sama dengan punggung ibuku.” (ibarat meniduri ibunya sendiri). Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut dan tidak mau melanjutkan dengan mentalak isterinya, maka wajib baginya membayar kifarat dan haram meniduri isterinya sebelum kafara dibayar.
Adapun kafarat Zhihar itu tertib urutannya, seperti berikut ini:
a.       Memerdekakan seorang hamba sahaya.
b.      Kalau tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c.       Kalau tidak mampu berpuasa sebagai gantinya adalah memberi makan 60 orang fakir miskin, setiap orangnya 5/6 liter beras.
7.      Handhanah
Handhanah berarti memelihara, menjaga, mendidik, dan mengatur segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu bagi dirinya).
Berdasarkan hadits nabi Muhammad saw, yang paling berhak adalah isteri, tetapi kebutuhan anak-anak seperti makan, pakaian biaya pendidikan dan lain-lain menjadi tanggung jawab suami. Jika anak sudah membayar mumayyiz, maka pengadilan Agama berhak menentukan anak-anak itu akan ikut siapa, ayah atau ibunya.

J.      Iddah
Iddah berarti masa menunggu bagi isteri yang ditinggal mati atau dicerai suaminya untuk/sampai dibolehkan menikah dengan laki-laki lain.
1.      Iddah karena suami wafat
a.       Bagi isteri yang tidak sedang hamil, yang sudah dicampuri, masa idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. (QS. 2: 234)
b.      Bagi isteri yang sedang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan. (QS. 65: 4)
2.      Iddah karena talak, fasakh, dan khulu’
a.       Isteri yang belum campur dengan suami, tidak ada masa iddah baginya. (QS. 33: 49)
b.      Bagi isteri yang sudah dicampur, masa iddahnya adalah sebagai berikut:
1)      Bagi yang masih menstruasi adalah tiga kali suci. (QS. 2: 228)
2)      Bagi yang sudah tidak menstruasi adalah tiga bulan. (QS. 65: 4)
3)      Bagi isteri yang sedang mengandung, adalah sampai dengan melahirkan. (QS. 65: 4)

K.    Rujuk
Rujuk berarti kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan isterinya sebagai mana semula, selama isterinya masih berada dengan masa iddah roj’iyah. Hukum rujuk asalnya mubah, dan bisa berubah sebagai mana berikut:
1.      Sunnah, apabila rujuknya untuk memperbaiki sikap dan perilaku.
2.      Wajib, misalnya suami yang mentalak salah seorang isterinya, yang sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.
3.      Makruh, apabila meneruskan perceraian itu lebih bermanfaat dari pada rujuk.
4.      Haram, jika maksud rujuknya hanya untuk menyakiti isteri/mendurhakai Allah SWT.
Adapun rukun rujuk ada empat:
1.      Isteri sudah bercampur dengan suaminya, dan dalam masa iddah roj’iyah.
2.      Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri.
3.      Ada dua orang saksu yang adil.
4.      Ada ucapan rujuk.

L.     Hikmah Perkawinan
1.      Dapat membentengi diri dari perbuatan tercela, misalnya fitnah dari lawan jenis.
2.      Upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup terutama dalam berkeluarga.
3.      Terbentuknya keluarga dan keturunan yang syah.
4.      Dapat melaksanakan sunnah Rasulullah.





M.   Perkawinan menurut undang-undang negara RI NO. 1 Tahun 1974
1.      Jumlah bab dan pasal
Undang-undang tersebut di atas terdiri dari 14 bab, yang terbagi menjadi 67 pasal, sedangkan kompilasi hukum Islam di bidang hukum perkawinan terdiri dari 19 bab 170 pasal, antara lain:
a.       Bab I, dasar pernikahan, terdiri dari 5 pasal.
b.      Bab II, syarat-syarat pernikahan, terdiri dari 7 pasal.
c.       Bab III, pencegahan pernikahan, terdiri dari 9 pasal.
d.      Bab IV, batalnya pernikahan, terdiri dari 7 pasal.
e.       Bab V, perjanjian pernikahan, terdiri dari 1 pasal.
f.       Bab VI, hak dan kewajiban suami isteri, terdiri dari 5 pasal.
g.      Bab VII, harta benda dalam pernikahan, terdiri dari 3 pasal.
h.      Bab VIII, putusnya pernikahan serta akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
i.        Bab IX, kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
j.        Bab X, hak dan kewajiban antar orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
k.      Bab XI, perwalian, terdiri dari 5 pasal.
l.        Bab XII, ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
m.    Bab XIII, ketentuan peralihan, terdiri dari 2 pasal.
n.      Bab XIV, ketentuan penutup, terdiri dari 2 pasal.
2.      Pengertian dan tujuan perkawinan
Dalam pasal 1 UU RI nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan tentang pengertian dan tujuan perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.      Pencatatan perkawinan
Tentang pencatatan perkawinan tercantum dalam UU RI nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 5 dan 6 kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan dijelaskan:
a.       Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, maka perkawinan harus dicatat.
b.      Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pencatat nikah/KUA kecamatan di mana calon mempelai bertempat tinggal.
c.       Setiap pernikahan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai akad nikah.
d.      Pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.      Syahnya perkawinan
UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan bahwa:
a.       Pasal 4, pernikahan itu syah apabila dilaksanakan menurut hukum Islam.
b.      Pasal 2, pernikahan menurut hukum Islam adalah pernikahan yang aqadnya sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sedang pasal 7 ayat 1 dari kompilasi hukum Islam di bidang hukum, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat pegawai pencatat nikah.
Dalam pasal 53 ayat 1, 2, 3 dari kompilasi hukum Islam perkawinan dijelaskan sebagai berikut:
a.       Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam pasal 1 dapat dilangsungkan tanpa harus menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
c.       Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak perlu perkawinan ulang setelah anak lahir.
Peran Pengadilan Agama dalam hukum pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 di antaranya adalah:
a.       Memberikan keputusan tentang pernikahan campuran oleh pegawai pencatat pernikahan.
b.      Ijin untuk beristeri lebih dari satu orang (Pasal 3 ayat 2).
c.       Ijin melangsungkan pernikahan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, bila orang tuanya, wali atau keluarganya dalam hubungan garis lurus memiliki perbedaan pendapat (Pasal 6 ayat 5).
d.      Memberikan sangsi atau memutuskan untuk tidak melangsungkan pernikahan karena adanya penyimpangan dari kekuatan umur minimum, yakni laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun (Pasal 17-18).
e.       Permohonan pihak yang pernikahannya ditolak oleh pegawai pencatat pernikahan (Pasal 21).
f.       Permohonan pembatalan pernikahan (Pasal 25, 28).
g.      Gugatan tentang kelalaian kewajiban suami atau isteri (Pasal 34 ayat 3).
h.      Mengurusi/mengatasi perceraian (Pasal 39, 40).
i.        Menindaklanjuti akibat perceraian (Pasal 41).
j.        Memutuskan syah atau tidak syahnya anak (Pasal 44).
k.      Penetapan asal usul seorang anak sebagai pengganti akte kelahiran (Pasal 55 ayat 2).
l.        Menindaklanjuti pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, untuk mengatur pula hukum acara yang dikehendaki oleh Pasal 28,39, dan 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...