A.
Pengertian
Munakahat
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang pernikahan, berasal dari akar kata
Nahana yang secara leksikal berarti menindih atau menghimpit. Sedang menurut
kamus bahasa Indonesia nikah berarti berkumpul atau bersatu. Adapun pengertian
secara istilah menurut syariat Islam adalah akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan, serta menghalalkan
hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama
untuk membangun bahtera keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah berdasarkan
syariat Islam.
B.
Hukum Nikah
Nikah merupakan
sunnah Rasulullah, sebagaimana yang beliau sabdakan: “Nikah adalah sunnahku,
barang siapa membenci sunnahku, maka bukan tergolong ummatku”. Menurut
sebagian ulama, nikah hukumnya mubah. Meskipun demikian, ditinjau dari kondisi
orang yang akan melakukan hukum nikah ada lima, yakni:
1.
Jaiz/mubah,
artinya tiap orang yang memenuhi syarat dan rukun nikah, halal menikah.
2. Sunah,
yaitu apa bila mereka yang akan melakukan nikah sebenarnya mempunyai kemampuan
untuk menikah dan mampu pula mengendalikan diri dari berbuat zina.
3.
Wajib,
bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina
kalau tidak segera menikah.
4.
Makruh,
bagi orang yang ingin menikah tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri
dan anak-anaknya.
5.
Haram,
bagi orang yang bermaksud untuk menyakiti wanita yang akan ia nikahi.
C.
Tujuan Pernikahan
Dalam rangka
mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama,
maka tujuan pernikahan antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk
memperoleh rasa cinta dan kasih sayang. Allah berfirman:
Artinya:
“Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Ruum:
21)
2.
Untuk
memperoleh ketenangan hidup (sakinah). Firman Allah:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum: 21)
3.
Untuk
memenuhi kebutuhan seksual secara syah dan diridhoi Allah.
4.
Untuk
memperoleh keturunan yang syah dalam agama dan masyarakat. Allah berfirman:
Artinya: “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”
(QS. Al-Kahfi: 46)
5.
Untuk
mewujudkan keluarga bahagia dunia akhirat.
D.
Peminangan
Sebelum
pernikahan berlangsung, terlebih dahulu diadakan peminangan. Dalam ilmu fiqih
peminangan disebut khittbah, adalah penyampaian maksud atau permintaan
dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya, baik secara
langsung oleh si peminang maupun oleh orang lain yang mewakilinya.
Wanita yang
dipinang berhak menerima pinangan itu atau berhak pula menolaknya. Apabila
pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah
terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan
sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut masa pertunangan. Pada masa
pertunangan ini biasanya si peminang (calon suami) memberikan sesuatu barang
kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta. Pemberian ini
dalam adat Jawa disebut Peningset.
Hal yang perlu
disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan
mereka tidak boleh bergaul sebagai suami istri, karena mereka belum terikat
oleh tali pernikahan. Larangan-larangan agama yang berlaku dalam hubungan pria
dan wanita yang bukan muhrim, berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa
pertunangan.
Salah satu
pihak yang bertunangan boleh memutuskan hubungan pertunangannya sehingga tidak
terjadi pernikahan asal mempunyai alasan yang dibenarkan oleh syarak.
Adapun
wanita-wanita yang haram dipinang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1.
Yang
haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang
termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa
iddah talak roj’i, dan wanita yang sudah bertunangan.
2.
Yang
haram dipinang secara terus terang, tetapi boleh dengan cara sindiran adalah
wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak ba’in
(talak tiga).
E.
Rukun Nikah
Rukun nikah berarti
ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu
syah. Ada lima macam rukun nikah ialah:
1. Ada
calon suami, syaratnya: dewasa, islam, tidak dipaksa, tidak dalam ihrom haji
atau umroh, bukan mahrom.
2. Ada
calon istri, syaratnya: dewasa, belum bertunangan, bukan mahrom, Tidak
bersuami, tidak dalam ihrom haji atau umroh.
3.
Ada
wali nikah, wali ini dari pihak calon istri.
4.
Ada
dua orang saksi, dengan syarat beragama islam, laki-laki, baligh, berakal
sehat, adil, dan tidak sedang ihrom haji atau umrah.
5. Ada
aqad nikah/sighot/ijab qobul, ijab diucapkan oleh wali sedang qabul diucapkan
mempelai laki-laki.
Disamping itu
ada syarat sebelum pernikahan yang harus diberikan oleh mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan yang disebut mahar. Firman Allah:
Artinya: “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS. An-nisa’: 4)
Setelah selesai
akad nikah diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukumnya adalah sunnah
muakkad. Rasulullah SAW bersabda: ”Adakanlah walimah walaupun hanya dengan
memotong seekor kambing.” (H.R. Bukari dan Muslim)
F.
Masalah Wali
Wali nikah ada
dua macam, yakni:
1.
Wali
nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang
akan dinikahkan. Adapun urutannya adalah sebagai berikut:
a.
Ayah
kandung
b.
Kakek
(ayah dari ayah) terus ke atas dari garis laki-laki.
c.
Saudara
laki-laki sekandung
d.
Saudara
laki-laki seayah
e.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g.
Saudara
laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
h.
Saudara
laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
i.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
j.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
2.
Wali
hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam. Di Indonesia wewenang presiden
sebagai wali hakim dilimpahkan kepada menteri Agama, sampai kepada KUA yang ada
di kecamatan-kecamatan.
G.
Muhrim
Menurut istilah
dalam ilmu fiqih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Ada empat muhrim
yaitu:
1.
Wanita
yang haram dinikahi karena nasab/keturunan:
a.
Ibu
kandung dan seterusnya keatas (nenek dari ibu/ayah).
b.
Anak
perempuan kandung dan seterusnya kebawah (cucu dan seterusnya).
c.
Saudara
perempuan (sekandung, seayah, seibu).
d.
Saudara
perempuan dari bapak.
e.
Saudara
perempuan dari ibu.
f.
Anak
perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g.
Anak
perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
2.
Wanita
yang haram dinikahi karena sepersusuan
a.
Ibu
yang menyusui.
b.
Saudara
perempuan sepersusuan.
3.
Wanita
yang haram dinikahi karena perkawinan
a.
Ibu
dari isteri (mertua).
b.
Anak
tiri, apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
c. Ibu
tiri (isteri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum. Firman Allah yang
artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh
ayahmu.”
d.
Menantu
(isteri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4.
Wanita
yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan isteri.
Misalnya, haram
melakukan poligami dengan dua orang yang bersaudara (kakak beradik), terhadap
seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan
kemenakannya.
H.
Kewajiban suami dan isteri
Kewajiban-kewajiban
harus dipenuhi dalam rangka mencapai keharmonisan keluarga. Kewajiban suami
adalah hak isteri, begitu pula kewajiban isteri adalah hak suami.
1.
Kewajiban
suami
a.
Memberi
nafkah sandang, pangan, tempat tinggal sesuai dengan kemampuan.
b.
Memimpin
dan membimbing isteri dan anak-anaknya agar menjadi generasi yang sholeh.
c.
Bergaul
dengan isteri dan anak-anaknya dengan baik.
d.
Memelihara
anak-anak dan isteri dari mara bahaya baik lahir maupun batin, duniawi maupun
ukhrowi.
e.
Memberi
nafkah batin.
2.
Kewajiban
isteri
a.
Taat
kepada suami selama dalam koridor Islam.
b.
Memelihara
diri dan kehormatan dan harta benda suami.
c.
Membantu
suami dalam memimpin bahtera keluarga.
d.
Menerima
dan menghormati pemberian suami yang sudah berusaha secara maksimal dengan
ikhlas.
e.
Hormat
dan sopan kepada suami.
f.
Memelihara,
mendidik, mengasuh anak-anak agar menjadi anak yang sholeh.
g.
Memberi
nafkah batin kepada suami.
3.
Kewajiban
bersama-sama suami/isteri
a.
Saling
menghargai dan menghormati.
b.
Saling
menyadari kekurangan masing-masing.
c.
Saling
mencitai dengan mawadah wa rohmah.
d.
Saling
membantu tugas masing-masing.
I.
Perceraian
Perceraian
berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Adapun hal-hal
yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah sebagai berikut.
1.
Talak
Talak, berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan
secara suka rela dan sadar dari suami kepada isteri. Rukun talak ada tiga,
adalah:
a.
Yang
menjatuhkan talak suami, syarat: berakal, kehendak sendiri.
b.
Yang
dijatuhi talak adalah isteri.
c.
Ada
ucapan talak, baik secara shorih (terang-terangan), maupun secara kinayah
(sindiran). Talak shorih misalnya: “saya talak engkau”, atau “saya
cerai engkau.” Cara kinayah misalnya: “pulanglah engkau keorang tuamu.!”
Maka telah jatuhlah talak pertama.
Macam-macam
talak:
a.
Menurut
lafadhnya
1)
Dengan
lafadh shoreh (jelas/terang-terangan).
2)
Dengan
lafadh kinayah (sindiran).
b.
Menurut
jenisnya
1)
Talak
mati, yakni talak karena suami mati.
2) Talak
hidup, talak disebabkan karena beberapa sebab. Talak ini ada dua macam, adalah
sebagai berikut:
-
Talak
raj’i, talak yang dijatuhkan suami kepada isteri untuk pertama kali atau kedua
kalinya, dan suami masih boleh rujuk selama dalam masa iddah.
-
Talak
ba’in, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk kepada isteri yang ditalaknya
itu, namun boleh nikah baru dengan ketenruan sebagai berikut:
·
Isteri
sudah dinikahi orang lain.
·
Isteri
sudah dicampuri suami yang baru.
·
Isteri
sudah dicerai suaminya.
·
Sudah
habis masa iddahnya (ini semua tidak boleh direkayasa).
c.
Menurut
waktunya
1)
Talak
sunni, adalah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan
sudah pernah dicampuri.
2)
Talak
tebus, adalah talak yang dijatuhkan atas kehendak isteri dengan jalan rafa’,
menggugat lewat hakim. Talak ini isteri membayar iwad/tebusan.
2.
Fasakh
Fasakh adalah
pembatalan pernikahan antara suami isteri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh
dilakukan oleh pengadilan agama karena adanya pengaduan dari isteri atau suami
dengan alasan yang dapat dibenarkan. Sebab-sebab fasakh dapat dibagi menjadi
dua yaitu:
a. Sebab-sebab yang dapat merusak akad nikah
1)
Isteri/suami
termasuk mahrom.
2)
Suami/isteri
murtad.
3) Keduanya
mula-mula musyrik, kemudian salah satunya jadi muslim, sedang yang satu tetap
musyrik.
b. Sebab-sebab yang menghalangi tercapainya tujuan pernikahan.
1) Cacat
yang menimpa pada salah satu pihak. Misalnya gila, atau penyakit-penyakit lain,
sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana suami isteri.
2)
Isteri
tidak dapat nafkah (belanja) dari suami.
3) Ada
unsur penipuan. Misalnya, ketika akad nikah berlangsung mengaku sebagai
pejabat, namun kenyataannya hanya sopirnya.
4)
Suami
dinyatakan hilang.
3.
Khuluk
Menurut bahasa,
khuluk berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khuluk adalah talak yang dijatuhkan
suami kepada isterinya dengan jalan tebusan dari pihak isteri, baik dengan
jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya atau dengan memebrikan sejumlah
uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
4.
Li’an
Li’an adalah
sumpah suami yang menuduh isterinya berzina. Karena suami tidak dapat
mengajukan empat orang saksi yang melihat isterinya berzina, maka suami harus
mengangkat sumpah empat kali di depan hakim dan ditutup yang kelima kali dengan
ucapan: “laknat/kutukan Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku
ini dusta.
5.
Ila’
Ila’ berarti
sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri isterinya selama
empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami
tersebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan ia
kembali kepada isterinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah
(kafarat). Jika sampai empat bulan dia tidak kembali pada isterinya, maka hakim
berhak menyuruhnya untuk memilih diantara dua hal, yaitu kembali kepada
isterinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak isterinya. Apabila suami
tidak bersedia menentukan pilihannya, maka hakim memutuskan bahwa suami telah
mentalak isterinya dengan talak ba’in sughro sehingga tidak dapat rujuk lagi.
Adapun kafarat
sumpah ila’ yang harus dipenuhi oleh suami, boleh memilih diantara tiga hal
tersebut.
a.
Memberi
makan sepuluh orang miskin, setiap orang ¾ liter beras.
b.
Memberi
pakaian pantas kepada sepuluh orang miskin.
c.
Memerdekakan
seorang hamba sahaya.
Jika tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga alternatife
tersebut diatas, maka ia harus berpuasa tiga hari.
6.
Zhihar
Zhihar adalah
ucapan suami yang menyerupakan isterinya sama dengan ibunya, seperti suami
berkata kepada isterinya: “bagiku punggungmu sama dengan punggung ibuku.”
(ibarat meniduri ibunya sendiri). Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut dan
tidak mau melanjutkan dengan mentalak isterinya, maka wajib baginya membayar
kifarat dan haram meniduri isterinya sebelum kafara dibayar.
Adapun kafarat Zhihar itu tertib urutannya, seperti berikut ini:
a. Memerdekakan seorang hamba sahaya.
b. Kalau tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c. Kalau tidak mampu berpuasa sebagai gantinya adalah memberi makan 60
orang fakir miskin, setiap orangnya 5/6 liter beras.
7.
Handhanah
Handhanah
berarti memelihara, menjaga, mendidik, dan mengatur segala kepentingan/urusan
anak-anak yang belum mumayyiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu bagi
dirinya).
Berdasarkan
hadits nabi Muhammad saw, yang paling berhak adalah isteri, tetapi kebutuhan
anak-anak seperti makan, pakaian biaya pendidikan dan lain-lain menjadi tanggung
jawab suami. Jika anak sudah membayar mumayyiz, maka pengadilan Agama berhak
menentukan anak-anak itu akan ikut siapa, ayah atau ibunya.
J.
Iddah
Iddah berarti
masa menunggu bagi isteri yang ditinggal mati atau dicerai suaminya
untuk/sampai dibolehkan menikah dengan laki-laki lain.
1. Iddah karena suami wafat
a. Bagi isteri yang tidak sedang hamil, yang sudah dicampuri, masa
idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. (QS. 2: 234)
b. Bagi isteri yang sedang hamil, masa iddahnya adalah sampai
melahirkan. (QS. 65: 4)
2. Iddah karena talak, fasakh, dan khulu’
a. Isteri yang belum campur dengan suami, tidak ada masa iddah
baginya. (QS. 33: 49)
b. Bagi isteri yang sudah dicampur, masa iddahnya adalah sebagai
berikut:
1)
Bagi
yang masih menstruasi adalah tiga kali suci. (QS. 2: 228)
2)
Bagi
yang sudah tidak menstruasi adalah tiga bulan. (QS. 65: 4)
3)
Bagi
isteri yang sedang mengandung, adalah sampai dengan melahirkan. (QS. 65: 4)
K.
Rujuk
Rujuk berarti
kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan isterinya sebagai
mana semula, selama isterinya masih berada dengan masa iddah roj’iyah. Hukum
rujuk asalnya mubah, dan bisa berubah sebagai mana berikut:
1. Sunnah, apabila rujuknya untuk memperbaiki sikap dan perilaku.
2. Wajib, misalnya suami yang mentalak salah seorang isterinya, yang
sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.
3. Makruh, apabila meneruskan perceraian itu lebih bermanfaat dari
pada rujuk.
4. Haram, jika maksud rujuknya hanya untuk menyakiti
isteri/mendurhakai Allah SWT.
Adapun rukun rujuk ada empat:
1.
Isteri
sudah bercampur dengan suaminya, dan dalam masa iddah roj’iyah.
2.
Keinginan
rujuk suami atas kehendak sendiri.
3.
Ada
dua orang saksu yang adil.
4.
Ada
ucapan rujuk.
L.
Hikmah Perkawinan
1.
Dapat
membentengi diri dari perbuatan tercela, misalnya fitnah dari lawan jenis.
2.
Upaya
untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup terutama dalam berkeluarga.
3.
Terbentuknya
keluarga dan keturunan yang syah.
4.
Dapat
melaksanakan sunnah Rasulullah.
M.
Perkawinan menurut undang-undang negara RI NO. 1 Tahun 1974
1.
Jumlah
bab dan pasal
Undang-undang
tersebut di atas terdiri dari 14 bab, yang terbagi menjadi 67 pasal, sedangkan
kompilasi hukum Islam di bidang hukum perkawinan terdiri dari 19 bab 170 pasal,
antara lain:
a.
Bab
I, dasar pernikahan, terdiri dari 5 pasal.
b.
Bab
II, syarat-syarat pernikahan, terdiri dari 7 pasal.
c.
Bab
III, pencegahan pernikahan, terdiri dari 9 pasal.
d.
Bab
IV, batalnya pernikahan, terdiri dari 7 pasal.
e.
Bab
V, perjanjian pernikahan, terdiri dari 1 pasal.
f.
Bab
VI, hak dan kewajiban suami isteri, terdiri dari 5 pasal.
g.
Bab
VII, harta benda dalam pernikahan, terdiri dari 3 pasal.
h.
Bab
VIII, putusnya pernikahan serta akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
i.
Bab
IX, kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
j.
Bab
X, hak dan kewajiban antar orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
k.
Bab
XI, perwalian, terdiri dari 5 pasal.
l.
Bab
XII, ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
m.
Bab
XIII, ketentuan peralihan, terdiri dari 2 pasal.
n.
Bab
XIV, ketentuan penutup, terdiri dari 2 pasal.
2.
Pengertian
dan tujuan perkawinan
Dalam pasal 1
UU RI nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan tentang pengertian dan tujuan perkawinan,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.
Pencatatan
perkawinan
Tentang
pencatatan perkawinan tercantum dalam UU RI nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2
yang berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku. Dalam pasal 5 dan 6 kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan
dijelaskan:
a.
Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, maka perkawinan harus
dicatat.
b.
Pencatatan
perkawinan dilakukan oleh pencatat nikah/KUA kecamatan di mana calon mempelai
bertempat tinggal.
c.
Setiap
pernikahan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai akad
nikah.
d.
Pernikahan
yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum.
4.
Syahnya
perkawinan
UU RI Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa perkawinan adalah syah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dalam kompilasi
hukum Islam Bab II disebutkan bahwa:
a. Pasal 4, pernikahan itu syah apabila dilaksanakan menurut hukum
Islam.
b. Pasal 2, pernikahan menurut hukum Islam adalah pernikahan yang
aqadnya sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Sedang pasal 7
ayat 1 dari kompilasi hukum Islam di bidang hukum, perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat pegawai pencatat nikah.
Dalam pasal 53 ayat 1, 2, 3 dari kompilasi hukum Islam perkawinan
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Seorang
wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut dalam pasal 1 dapat dilangsungkan tanpa harus
menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
c.
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak perlu perkawinan ulang
setelah anak lahir.
Peran
Pengadilan Agama dalam hukum pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 di
antaranya adalah:
a.
Memberikan
keputusan tentang pernikahan campuran oleh pegawai pencatat pernikahan.
b.
Ijin
untuk beristeri lebih dari satu orang (Pasal 3 ayat 2).
c.
Ijin
melangsungkan pernikahan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, bila
orang tuanya, wali atau keluarganya dalam hubungan garis lurus memiliki
perbedaan pendapat (Pasal 6 ayat 5).
d.
Memberikan
sangsi atau memutuskan untuk tidak melangsungkan pernikahan karena adanya
penyimpangan dari kekuatan umur minimum, yakni laki-laki 19 tahun dan perempuan
16 tahun (Pasal 17-18).
e.
Permohonan
pihak yang pernikahannya ditolak oleh pegawai pencatat pernikahan (Pasal 21).
f.
Permohonan
pembatalan pernikahan (Pasal 25, 28).
g.
Gugatan
tentang kelalaian kewajiban suami atau isteri (Pasal 34 ayat 3).
h.
Mengurusi/mengatasi
perceraian (Pasal 39, 40).
i.
Menindaklanjuti
akibat perceraian (Pasal 41).
j.
Memutuskan
syah atau tidak syahnya anak (Pasal 44).
k.
Penetapan
asal usul seorang anak sebagai pengganti akte kelahiran (Pasal 55 ayat 2).
l.
Menindaklanjuti
pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, untuk mengatur pula hukum acara yang dikehendaki
oleh Pasal 28,39, dan 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar