Selasa, 28 Oktober 2014

Materi FIQIH "Mengelola Wakaf dengan Penuh Amanah"



Materi FIQIH SMA kelas X Semester 2
Mengelola Wakaf dengan Penuh Amanah

A.    Memahami Makna Wakaf sebagai Syari’at Islam
1.    Pengertian Wakaf
Secara bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab yang artinya menahan (alhabs) dan mencegah (al-man’u). Maksudnya adalah menahan untuk tidak dijual, tidak dihadiahkan, atau diwariskan. Wakaf menurut istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya kepada orang lain atau lembaga dengan cara menyerahkan suatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya oleh masyarakat. Contohnya adalah seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk lahan pemakaman umum. Maka tanah yang sudah diwakafkan tersebut tidak boleh ditarik kembali, dijual, diwariskan, atau dihadiahkan kepada orang lain.
Wakaf termasuk amal ibadah yang sangat mulia dan dianjurkan oleh Allah Swt. Dalam Q.S. ali Imran/3:92 Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Swt. Maha Mengetahui.”
Wakaf termasuk amal ibadah yang belum banyak diamalkan.Hal tersebut disebabkan karena biasanya wakaf berupa harta yang dicintai, seperti tanah, bangunan, atau benda lainnya. Padahal, jika seseorang mengetahui betapa besar pahala yang akan diraihnya dengan berwakaf, boleh jadi orang akan berbondong-bondong melakukan wakaf meski sekadar satu meter tanah.
Wakaf merupakan amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir sampai orang yang mewakafkannya meninggal dunia. Artinya, ia akan tetap menerima pahala dari amal jariyahnya selama wakafnya dimanfaatkan oleh orang lain. Wakaf memiliki dua tujuan, yaitu hubungan horizontal, yaitu mengentaskan kemiskinan dan hubungan vertikal, yaitu pendekatan pada Allah Swt.
Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah dijelaskan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang  memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam. Menurut Jaih Mubarok, dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal, berikut:
a.    Wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti perusahaan atau organisasi kemasyarakatan.
b.     Pemisahan tanah milik belum menunjukkan pemindahan kepemilikian tanah milik yang diwakafkan.
c.    Tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
2.    Hukum Wakaf
Hukum wakaf adalah sunnah. Wakaf sebagai amaliyah sunnah yang sangat besar manfaatnya bagi wakif, yaitu sebagai sadaqah jariyah. Berdasarkan dalil-dalil wakaf bagi keperluan umat, wakaf merupakan perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Islam.
Suatu ibadah dinilai sah apabila terdapat perintah dari Allah Swt. Dan Rasulullah saw. Demikian halnya dengan syari’at atau ajaran wakaf. Berikut adalah beberapa dalil yang menjadi dasar tentang diperintahkannya wakaf, di antaranya seperti berikut.
a.    Q.S. Āli ‘Imrān/3:92

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Swt. Maha Mengetahui”. (QS. Āli ‘Imrān/3:92 )
b.    Hadis Rasulullah saw. riwayat Bukhari dan Muslim

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”. (H.R. Bukhari dan Muslim ).
Mengenai sadaqah jariyah pada hadis di atas, ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf.
c.       Hadis Rasulullah saw. riwayat Bukhari
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra.’, “Sesunguhnya Umar Ibn al Khatthab memiliki tanah yang dinamakan dengan Samgun yang ada kurma yang indah sekali. Umar berkata, “Ya Rasul Allah Swt. saya ingin memanfaatkan hartaku yang sangat baik, apakah saya mau menshadaqahkannya? Nabi menjawab, “Hendaklah shadaqahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan akan tetapi hendaklah nafkahkan buahnya.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan dalil Al-Qur’ān dan hadis-hadis di atas, ditegaskan bahwa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka sepantasnya harus memilih hartanya yang paling baik untuk diwakafkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab ra. Umat Islam berbeda pendapat tentang awal diberlakukannya wakaf.
Menurut kaum Muhajirin, bahwa wakaf pertama kali diberlakukan pada zaman Umar ibn Khattab dan dimulai Nabi Muhammad saw sendiri. Sementara menurut kaum Ansar, wakaf pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, sebagaimana dalam kitab Magazi al-Waqidi dikatakan bahwa sedekah yang berupa wakaf dalam Islam yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw sendiri adalah sebidang tanah untuk dibangun masjid. Dengan demikian, dasar wakaf bukan hanya berupa ucapan Nabi (qaul al-nabi), tetapi juga praktik Nabi Muhammad saw sendiri (fi’il al-nabi).
Menurut al-Qurtubi, seluruh sahabat Nabi pernah mempraktikkan wakaf di Mekah dan Madinah, seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Aisyah, Fatimah, Zubair, Amr bin Ash, dan Jabir. Menurut Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya bahwa sekitar delapan puluh sahabat Nabi dari kaum Ansar mempraktikkan sedekah muharramat yang disebut wakaf dan seluruh sahabat Nabi melakukan wakaf serta tidak seorang pun yang tidak mengetahuinya. Dengan demikian, wakaf memiliki dasar yang kuat mulai dari al-Qur’an yang bersifat global (mujmal), perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw, dan perilaku sahabat Nabi Muhammad saw.
3.    Rukun dan Syarat Wakaf
Adapun rukun wakaf ada empat, seperti berikut.
a.    Orang yang berwakaf (al-wakif), dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki.
2)      Berakal, tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
3)      Balig.
4)      Mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang bangkrut (muflis) dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
b.    Benda yang diwakafkan (al-mauquf), dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Barang yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
2)      Harta yang diwakafkan itu harus diketahui kadarnya. Jadi, apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
3)      Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
4)      Harta itu harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah gaira śai’.
c.    Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi) atau sekelompok orang/badan hukum yang disertai tugas mengurus dan memelihara barang wakaf (nazir).Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, yaitu seperti berikut:
1)      Tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang, atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh diubah. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia adalah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik). Maka, orang muslim, merdeka dan kafir zimni (non muslim yang bersahabat) yang memenuhi syarat ini, boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
2)      Tidak tertentu (gaira mu’ayyan), yaitu tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dan lain-lain. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan, yaitu bahwa yang akan menerima wakaf itu hendaklah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt dan hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
d.   Lafaz atau ikrar wakaf (sigat), dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Ucapan itu harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
2)      Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
3)      Ucapan itu bersifat pasti.
4)      Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila semua persyaratan di atas dapat terpenuhi, penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf (wakif) tidak dapat lagi menarik balik kepemilikan harta itu karena telah berpindah kepada Allah Swt dan penguasaan harta tersebut berpindah kepada orang yang menerima wakaf (nazir). Secara umum, penerima wakaf (nazir) dianggap pemiliknya tetapi  bersifat tidak penuh (gaira tammah).

B.    Harta Wakaf dan Pemanfaatannya
Berdasarkan hadis Rasulullah saw dan amal para sahabat, harta wakaf itu berupa benda yang tidak habis karena dipakai dan tidak rusak karena dimanfaatkan, baik benda bergerak ataupun benda tidak bergerak. Sebagai contoh misalnya Umar bin Khattab ra mewakafkan sebidang tanah di Khaibar. Khalid bin Walid ra mewakafkan pakaian perang dan kudanya.
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah. Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
1.      Wakaf benda tidak bergerak
a.       Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.      Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.
c.       Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Wakaf benda bergerak
a.       Wakaf uang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Dana wakaf berupa uang dapat diinvestasikan pada asetaset finansial dan pada aset ril.
b.      Logam mulia, yaitu logam dan batu mulia yang sifatnya memiliki manfaat jangka panjang.
c.       Surat berharga.
d.      Kendaraan.
e.       Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI mencakup hak cipta, hak paten, merek, dan desain produk industri.
f.       Hak sewa seperti wakaf bangunan dalam bentuk rumah.
Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia keanggotaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) diangkat oleh Presiden Republik Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No.75/M Tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007 sebagai amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf

C.    Pengelolaan Wakaf dan Problematikanya
1.      Dasar Wakaf
Perwakafan di Indonesia diatur menurut undang-undang dan peraturanperaturan sebagai berikut:
a.       UU RI No.41 Tahun 2004 tentang wakaf tanggal 27 Oktober 2004.
b.    Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1998 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c.       Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
d.      Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
e.       UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f.      Intruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
g.    Badan Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf.
h.     SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah (Pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan).
i.   SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,infaq, śhadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan).
Untuk selanjutnya di tingkat masyarakat yang menangani langsung perwakafan diserahkan kepada Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Di tingkat paling bawah, urusan wakaf dilayani oleh Kantor Urusan Agama yang dalam hal ini Kepala KUA sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
2.      Tata cara perwakafan tanah milik
a.       Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya diharuskan datang sendiri di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk pelaksanakan ikrar wakaf.
b.      Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus menyerahkan surat-surat (sertifikat, surat keterangan, dan lain-lain) kepada PPAIW.
c.       PPAIW meneliti surat dan syarat-syaratnya dalam memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah.
d.      Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas, tegas, dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
3.      Sertifikasi Tanah Wakaf
Sertifikasi wakaf diperlukan agar tertib secara administrasi dan memiliki kepastian hak bila terjadi sengketa atau masalah hukum. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan secara bersama oleh Kementerian Agama dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada tahun 2004, kedua lembaga ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala BPN No. 422 Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Proses sertifikasi tanah wakaf dibebankan kepada anggaran Kementerian Agama.
4.      Ruilslag Tanah Wakaf
Nazir wajib mengelola harta benda wakaf sesuai peruntukan. Ia dapat mengembangkan potensi wakaf asalkan tidak mengurangi tujuan dan peruntukan wakaf. Dalam praktiknya, acapkali terjadi permintaan untuk menukar guling (ruilslag) tanah wakaf karena alasan tertentu. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 memperbolehkan tukar guling atau penukaran harta benda wakaf dengan syarat harus ada persetujuan dari Menteri Agama. Kewajiban nazir yang terutama adalah mengamankan harta wakaf yang dikelolanya dan memanfaatkannya. Jika didapati harta wakaf tidak sesuai kemanfaatannya, misalnya gedung madrasah yang penduduk sekitarnya telah pindah sehingga harta wakaf tersebut tidak berfungsi lagi, nazir mengambil langkah untuk kemanfaatan yang lain.
Apakah harta wakaf itu boleh dijual dan diganti serta dipindahkan ke tempat lain? Dengan alasan kemaslahatan dan kemanfaatan, diperbolehkan mengganti bangunan gedung wakaf. Demikian juga menggantikan tanaman wakaf dengan tanaman yang lebih produktif juga diperbolehkan, yang hasilnya lebih bermanfaat dari yang sebelumnya. Hal ini sesuai dengan tujuan wakaf. Adapun memindahkan harta wakaf diperbolehkan berdasarkan alasan maslahat dan manfaat. Contohnya jika jalan yang berjembatan wakaf tidak lagi dipergunakan, jembatan itu boleh dipindahkan ke tempat lain yang memerlukannya.
Mengenai harta wakaf yang tidak mungkin diambil manfaatnya, juga boleh dijual, kemudian membeli benda baru yang lain sebagai pengganti. Imam Syafi’i dan yang lainnya tidak memperbolehkan mengganti masjid atau tanah wakaf. Namun Umar bin Khattab pernah memindahkan masjid Kufah ke tempat yang baru dan tempat yang lama dijadikan pasar kurma.
Oleh karena itu, perubahan atau pengalihan dari yang dimaksud dalam ikrar wakaf hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu saja, dan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah setempat dengan alasan:
a.       Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf yang diikrarkan oleh wakif.
b.      Karena kepentingan umum.
5.      Sengketa Wakaf
Penyelesaian sengketa wakaf pada dasarnya harus ditempuh melalui musyawarah. Apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, sengketa dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.
6.      Syarat, Kewajiban, dan Hak Nazir
Nazir bisa dilakukan oleh perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Syarat nazir perseorangan adalah sebagai berikut:
a.       Warga negara Indonesia.
b.      Beragama Islam.
c.       Dewasa.
d.      Amanah.
e.       Mampu secara jasmani dan rohani.
f.       Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi atau badan hukum yang bisa menjadi nazir harus memenuhi persyaratan, berikut:
a.       Pengurus organisasi atau badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazir perseorangan sebagaimana tersebut di atas.
b.      Organisasi atau badan hukum itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, atau keagamaan Islam.
c.       Badan hukum itu dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Kewajiban atau tugas nazir adalah sebagai berikut:
a.       Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
b.      Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
c.       Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
d.      Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, nazir memiliki hak-hak sebagai berikut:
a.       Menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh prosen).
b.      Menggunakan fasilitas dengan persetujuan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

D.    Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wakaf
Secara makro, wakaf diharapkan mampu memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Orang-orang yang perlu bantuan berupa makanan, perumahan, sarana umum seperti masjid, rumah sakit, sekolah, pasar, dan lain-lain, bahkan modal untuk kepentingan pribadi dapat diberikan, bukan dalam bentuk pinjaman, tapi murni sedekah di jalan Allah Swt. Kondisi demikian akan memperingan beban ekonomi masyarakat. Kalau ia bergerak secara teratur, tentu akan lahir ekonomi masyarakat dengan biaya murah.
Menurut Syafi’i Antonio, setidaknya ada tiga pilosofi dasar yang harus ditekankan ketika hendak memberdayakan wakaf. Pertama, manajemennya harus dalam bingkai ‘proyek yang terintegrasi’. Kedua, azas kesejahteraan nazir. Ketiga, azas transparansi dan akuntabiliti dimana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun tentang proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk laporan audit keuangan termasuk kewajaran dari masing-masing pos biaya.
Adapun prinsip-prinsip pengelolaan wakaf adalah sebagai berikut:
a.    Seluruh harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari wakif dengan status wakaf sesuai dengan syariah.
b.    Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu.
c.    Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana yang diperkenankan oleh syariah.
d.   Jumlah harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh wakif.
e.    Wakif dapat meminta keseluruhan keuntungannya untuk tujuan-tujuan yang telah ia tentukan.

E.    Tujuan, Fungsi, Manfaat dan HikmahWakaf
Tujuan wakaf adalah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaatkan ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Manfaat wakaf bagi yang menerima wakaf atau masyarakat banyak antara lain: dapat menghilangkan kebodohan , dapat menghilangkan (mengurangi) kemiskinan, dapat menghilangkan (mengurangi) kesenjangan sosial, dapat memajukan serta mensejahterakan umat, dapat meningkatkan syiar Islam.
Adapun hikmah dari wakaf ialah menumbuhkan solidaritas sosial pada sesama masyarakat, wakaf membantu program pengentasan kemiskinan, wakaf akan menumbuhkan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial, seperti lembaga pendidikan, panti asuhan, dan panti jompo.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...