Materi
FIQIH SMA
kelas X Semester 2
Mengelola
Wakaf dengan Penuh Amanah
A.
Memahami Makna Wakaf sebagai Syari’at Islam
1. Pengertian Wakaf
Secara bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab yang artinya
menahan (alhabs) dan mencegah (al-man’u). Maksudnya adalah
menahan untuk tidak dijual, tidak dihadiahkan, atau diwariskan. Wakaf menurut
istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta
miliknya kepada orang lain atau lembaga dengan cara menyerahkan suatu benda
yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya oleh masyarakat. Contohnya adalah
seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk lahan pemakaman umum. Maka
tanah yang sudah diwakafkan tersebut tidak boleh ditarik kembali,
dijual, diwariskan, atau dihadiahkan kepada orang lain.
Wakaf termasuk amal
ibadah yang sangat mulia dan dianjurkan oleh Allah Swt. Dalam Q.S. ali
Imran/3:92 Allah Swt. berfirman:
Artinya:
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian
harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh,
Allah Swt. Maha Mengetahui.”
Wakaf termasuk amal
ibadah yang belum banyak diamalkan.Hal tersebut disebabkan karena biasanya wakaf
berupa harta yang dicintai, seperti tanah, bangunan, atau benda lainnya.
Padahal, jika seseorang mengetahui betapa besar pahala yang akan diraihnya
dengan berwakaf, boleh jadi orang akan berbondong-bondong melakukan wakaf
meski sekadar satu meter tanah.
Wakaf merupakan amal
jariah yang pahalanya akan terus mengalir sampai orang yang mewakafkannya
meninggal dunia. Artinya, ia akan tetap menerima pahala dari amal jariyahnya
selama wakafnya dimanfaatkan oleh orang lain. Wakaf memiliki dua
tujuan, yaitu hubungan horizontal, yaitu mengentaskan kemiskinan dan hubungan
vertikal, yaitu pendekatan pada Allah Swt.
Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah dijelaskan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian
harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
Menurut Jaih Mubarok, dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal, berikut:
a.
Wakif
atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan
hukum seperti perusahaan atau organisasi kemasyarakatan.
b.
Pemisahan tanah milik belum menunjukkan
pemindahan kepemilikian tanah milik yang diwakafkan.
c.
Tanah
wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya
sesuai ajaran Islam.
2. Hukum Wakaf
Hukum wakaf adalah sunnah. Wakaf sebagai amaliyah
sunnah yang sangat besar manfaatnya bagi wakif, yaitu sebagai sadaqah
jariyah. Berdasarkan dalil-dalil wakaf bagi keperluan umat, wakaf
merupakan perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Islam.
Suatu ibadah dinilai sah apabila terdapat perintah dari Allah Swt.
Dan Rasulullah saw. Demikian halnya dengan syari’at atau ajaran wakaf.
Berikut adalah beberapa dalil yang menjadi dasar tentang diperintahkannya wakaf,
di antaranya seperti berikut.
a.
Q.S.
Āli ‘Imrān/3:92
Artinya:
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh,
Allah Swt. Maha Mengetahui”. (QS. Āli ‘Imrān/3:92 )
b.
Hadis
Rasulullah saw. riwayat Bukhari dan Muslim
Artinya:
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang
meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”. (H.R. Bukhari
dan Muslim ).
Mengenai
sadaqah jariyah pada hadis di atas, ulama telah sepakat bahwa yang
dimaksud dengan sadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf.
c.
Hadis
Rasulullah saw. riwayat Bukhari
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra.’, “Sesunguhnya Umar
Ibn al Khatthab memiliki tanah yang dinamakan dengan Samgun yang ada kurma yang
indah sekali. Umar berkata, “Ya Rasul Allah Swt. saya ingin memanfaatkan
hartaku yang sangat baik, apakah saya mau menshadaqahkannya? Nabi menjawab,
“Hendaklah shadaqahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual, dihibahkan, dan
diwariskan akan tetapi hendaklah nafkahkan buahnya.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan dalil Al-Qur’ān dan hadis-hadis di atas,
ditegaskan bahwa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka
sepantasnya harus memilih hartanya yang paling baik untuk diwakafkan,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab ra. Umat Islam berbeda
pendapat tentang awal diberlakukannya wakaf.
Menurut kaum Muhajirin, bahwa wakaf pertama kali
diberlakukan pada zaman Umar ibn Khattab dan dimulai Nabi Muhammad saw sendiri.
Sementara menurut kaum Ansar, wakaf pertama kali dilakukan oleh
Nabi Muhammad saw, sebagaimana dalam kitab Magazi al-Waqidi dikatakan
bahwa sedekah yang berupa wakaf dalam Islam yang pertama kali dilakukan oleh
Nabi Muhammad saw sendiri adalah sebidang tanah untuk dibangun masjid. Dengan
demikian, dasar wakaf bukan hanya berupa ucapan Nabi (qaul al-nabi),
tetapi juga praktik Nabi Muhammad saw sendiri (fi’il al-nabi).
Menurut al-Qurtubi, seluruh sahabat Nabi pernah
mempraktikkan wakaf di Mekah dan Madinah, seperti Abu Bakar, Umar bin
al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Aisyah, Fatimah, Zubair, Amr
bin Ash, dan Jabir. Menurut Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya bahwa
sekitar delapan puluh sahabat Nabi dari kaum Ansar mempraktikkan sedekah
muharramat yang disebut wakaf dan seluruh sahabat Nabi melakukan wakaf
serta tidak seorang pun yang tidak mengetahuinya. Dengan demikian, wakaf
memiliki dasar yang kuat mulai dari al-Qur’an yang bersifat global (mujmal),
perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw, dan perilaku sahabat Nabi Muhammad
saw.
3. Rukun dan Syarat Wakaf
Adapun rukun wakaf
ada empat, seperti berikut.
a.
Orang
yang berwakaf (al-wakif), dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Memiliki
secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu
kepada siapa yang ia kehendaki.
2)
Berakal,
tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
3)
Balig.
4)
Mampu
bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang
sedang bangkrut (muflis) dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan
hartanya.
b.
Benda
yang diwakafkan (al-mauquf), dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
1)
Barang
yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
2)
Harta
yang diwakafkan itu harus diketahui kadarnya. Jadi, apabila harta itu
tidak diketahui jumlahnya (majhul), pengalihan milik pada ketika itu
tidak sah.
3)
Harta
yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
4)
Harta
itu harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan)
atau disebut juga dengan istilah gaira śai’.
c.
Orang
yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi) atau sekelompok
orang/badan hukum yang disertai tugas mengurus dan memelihara barang wakaf (nazir).Dari
segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, yaitu
seperti berikut:
1)
Tertentu
(mu’ayyan), yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang,
dua orang, atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh diubah.
Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan)
bahwa ia adalah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik).
Maka, orang muslim, merdeka dan kafir zimni (non muslim yang bersahabat)
yang memenuhi syarat ini, boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang
bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
2)
Tidak
tertentu (gaira mu’ayyan), yaitu tempat berwakaf itu tidak
ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang untuk orang fakir, miskin,
tempat ibadah, dan lain-lain. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira
mu’ayyan, yaitu bahwa yang akan menerima wakaf itu hendaklah dapat
menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan
diri kepada Allah Swt dan hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
d.
Lafaz
atau ikrar wakaf (sigat), dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Ucapan
itu harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak
sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
2)
Ucapan
itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau
digantungkan kepada syarat tertentu.
3)
Ucapan
itu bersifat pasti.
4)
Ucapan
itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila semua persyaratan di atas dapat terpenuhi, penguasaan atas
tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf (wakif)
tidak dapat lagi menarik balik kepemilikan harta itu karena telah berpindah
kepada Allah Swt dan penguasaan harta tersebut berpindah kepada orang yang
menerima wakaf (nazir). Secara umum, penerima wakaf (nazir)
dianggap pemiliknya tetapi bersifat
tidak penuh (gaira tammah).
B.
Harta Wakaf dan Pemanfaatannya
Berdasarkan
hadis Rasulullah saw dan amal para sahabat, harta wakaf itu berupa benda
yang tidak habis karena dipakai dan tidak rusak karena dimanfaatkan, baik benda
bergerak ataupun benda tidak bergerak. Sebagai contoh misalnya Umar bin Khattab
ra mewakafkan sebidang tanah di Khaibar. Khalid bin Walid ra mewakafkan
pakaian perang dan kudanya.
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya
tahan lama dan manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah.
Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
1.
Wakaf
benda tidak bergerak
a.
Hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.
Bangunan
atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.
c.
Tanaman
dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d.
Hak
milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.
Wakaf
benda bergerak
a.
Wakaf
uang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah yang ditunjuk
oleh Menteri Agama. Dana wakaf berupa uang dapat diinvestasikan pada
asetaset finansial dan pada aset ril.
b.
Logam
mulia, yaitu logam dan batu mulia yang sifatnya memiliki manfaat jangka
panjang.
c.
Surat
berharga.
d.
Kendaraan.
e.
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI mencakup hak cipta, hak paten, merek,
dan desain produk industri.
f.
Hak
sewa seperti wakaf bangunan dalam bentuk rumah.
Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia
keanggotaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) diangkat oleh Presiden Republik Indonesia
sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No.75/M Tahun 2007, yang ditetapkan
di Jakarta, 13 Juli 2007 sebagai amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf
C.
Pengelolaan Wakaf dan Problematikanya
1.
Dasar
Wakaf
Perwakafan di Indonesia diatur menurut undang-undang dan
peraturanperaturan sebagai berikut:
a.
UU
RI No.41 Tahun 2004 tentang wakaf tanggal 27 Oktober 2004.
b. Peraturan
Menteri Agama No.1 Tahun 1998 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c.
Inpres
No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
d.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah
Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
e.
UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya pasal
5, 14 (1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f. Intruksi
Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990
tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
g. Badan
Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf.
h. SK
Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah
(Pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah,
wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang
berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan).
i. SK
Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syari’ah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai
lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,infaq,
śhadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan).
Untuk selanjutnya di tingkat masyarakat yang menangani langsung
perwakafan diserahkan kepada Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Di
tingkat paling bawah, urusan wakaf dilayani oleh Kantor Urusan Agama yang dalam
hal ini Kepala KUA sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
2.
Tata
cara perwakafan tanah milik
a.
Perorangan
atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya diharuskan datang
sendiri di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk pelaksanakan
ikrar wakaf.
b.
Calon
wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus
menyerahkan surat-surat (sertifikat, surat keterangan, dan lain-lain) kepada
PPAIW.
c.
PPAIW
meneliti surat dan syarat-syaratnya dalam memenuhi untuk pelepasan hak atas
tanah.
d.
Di
hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas,
tegas, dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW dapat
membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan.
3.
Sertifikasi
Tanah Wakaf
Sertifikasi wakaf
diperlukan agar tertib secara administrasi dan memiliki kepastian hak bila
terjadi sengketa atau masalah hukum. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan
secara bersama oleh Kementerian Agama dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada
tahun 2004, kedua lembaga ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Kepala BPN No. 422 Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Proses
sertifikasi tanah wakaf dibebankan kepada anggaran Kementerian Agama.
4.
Ruilslag
Tanah Wakaf
Nazir wajib mengelola harta benda wakaf sesuai peruntukan. Ia
dapat mengembangkan potensi wakaf asalkan tidak mengurangi tujuan dan
peruntukan wakaf. Dalam praktiknya, acapkali terjadi permintaan untuk
menukar guling (ruilslag) tanah wakaf karena alasan tertentu.
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 memperbolehkan tukar guling atau
penukaran harta benda wakaf dengan syarat harus ada persetujuan dari Menteri
Agama. Kewajiban nazir yang terutama adalah mengamankan harta wakaf yang
dikelolanya dan memanfaatkannya. Jika didapati harta wakaf tidak sesuai
kemanfaatannya, misalnya gedung madrasah yang penduduk sekitarnya telah pindah
sehingga harta wakaf tersebut tidak berfungsi lagi, nazir mengambil
langkah untuk kemanfaatan yang lain.
Apakah harta wakaf
itu boleh dijual dan diganti serta dipindahkan ke tempat lain? Dengan
alasan kemaslahatan dan kemanfaatan, diperbolehkan mengganti bangunan gedung wakaf.
Demikian juga menggantikan tanaman wakaf dengan tanaman yang lebih
produktif juga diperbolehkan, yang hasilnya lebih bermanfaat dari yang
sebelumnya. Hal ini sesuai dengan tujuan wakaf. Adapun memindahkan harta
wakaf diperbolehkan berdasarkan alasan maslahat dan manfaat. Contohnya
jika jalan yang berjembatan wakaf tidak lagi dipergunakan, jembatan itu
boleh dipindahkan ke tempat lain yang memerlukannya.
Mengenai harta wakaf
yang tidak mungkin diambil manfaatnya, juga boleh dijual, kemudian membeli
benda baru yang lain sebagai pengganti. Imam Syafi’i dan yang lainnya tidak
memperbolehkan mengganti masjid atau tanah wakaf. Namun Umar bin Khattab
pernah memindahkan masjid Kufah ke tempat yang baru dan tempat yang lama
dijadikan pasar kurma.
Oleh karena
itu, perubahan atau pengalihan dari yang dimaksud dalam ikrar wakaf hanya
dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu saja, dan terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari pemerintah setempat dengan alasan:
a.
Karena
tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf yang diikrarkan oleh wakif.
b.
Karena
kepentingan umum.
5.
Sengketa
Wakaf
Penyelesaian
sengketa wakaf pada dasarnya harus ditempuh melalui musyawarah. Apabila
mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, sengketa dapat dilakukan melalui
mediasi, arbitrase atau pengadilan.
6.
Syarat,
Kewajiban, dan Hak Nazir
Nazir bisa dilakukan oleh perseorangan, organisasi, atau badan hukum.
Syarat nazir perseorangan adalah sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Dewasa.
d. Amanah.
e. Mampu secara jasmani dan rohani.
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Organisasi atau
badan hukum yang bisa menjadi nazir harus memenuhi persyaratan, berikut:
a.
Pengurus
organisasi atau badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazir perseorangan
sebagaimana tersebut di atas.
b.
Organisasi
atau badan hukum itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,
atau keagamaan Islam.
c.
Badan
hukum itu dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Kewajiban atau tugas nazir adalah sebagai berikut:
a.
Melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf.
b.
Mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.
c.
Mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf.
d.
Melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam
melaksanakan tugas tersebut, nazir memiliki hak-hak sebagai berikut:
a.
Menerima
imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh prosen).
b.
Menggunakan
fasilitas dengan persetujuan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
D.
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wakaf
Secara makro, wakaf
diharapkan mampu memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Orang-orang yang
perlu bantuan berupa makanan, perumahan, sarana umum seperti masjid, rumah
sakit, sekolah, pasar, dan lain-lain, bahkan modal untuk kepentingan pribadi
dapat diberikan, bukan dalam bentuk pinjaman, tapi murni sedekah di jalan Allah
Swt. Kondisi demikian akan memperingan beban ekonomi masyarakat. Kalau ia
bergerak secara teratur, tentu akan lahir ekonomi masyarakat dengan biaya
murah.
Menurut Syafi’i
Antonio, setidaknya ada tiga pilosofi dasar yang harus ditekankan ketika hendak
memberdayakan wakaf. Pertama, manajemennya harus dalam bingkai ‘proyek
yang terintegrasi’. Kedua, azas kesejahteraan nazir. Ketiga, azas
transparansi dan akuntabiliti dimana badan wakaf dan lembaga yang
dibantunya harus melaporkan setiap tahun tentang proses pengelolaan dana kepada
umat dalam bentuk laporan audit keuangan termasuk kewajaran dari
masing-masing pos biaya.
Adapun
prinsip-prinsip pengelolaan wakaf adalah sebagai berikut:
a.
Seluruh
harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari wakif dengan
status wakaf sesuai dengan syariah.
b.
Wakaf
dilakukan dengan tanpa batas waktu.
c.
Wakif
mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana yang
diperkenankan oleh syariah.
d.
Jumlah
harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan
dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh wakif.
e.
Wakif
dapat meminta keseluruhan keuntungannya untuk tujuan-tujuan yang
telah ia tentukan.
E.
Tujuan, Fungsi,
Manfaat dan HikmahWakaf
Tujuan wakaf
adalah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Fungsi wakaf
adalah mewujudkan potensi dan manfaatkan ekonomis harta benda wakaf
untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Manfaat wakaf
bagi yang menerima wakaf atau masyarakat banyak antara lain: dapat
menghilangkan kebodohan , dapat menghilangkan (mengurangi) kemiskinan, dapat
menghilangkan (mengurangi) kesenjangan sosial, dapat memajukan serta
mensejahterakan umat, dapat meningkatkan syiar Islam.
Adapun hikmah
dari wakaf ialah menumbuhkan solidaritas sosial pada sesama masyarakat, wakaf
membantu program pengentasan kemiskinan, wakaf akan menumbuhkan
organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial, seperti lembaga
pendidikan, panti asuhan, dan panti jompo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar