Senin, 28 April 2014

Tasawuf Akhlaki



Tasawuf Akhlaki

logo IAIN.jpg
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Taswuf
Dosen pengampu : Drs. Kasmuri, M.Ag

Disusun oleh :

Fidia Astuti                     (123 111 163)
Fitri Marta Ningrum     (123 111 164)
Fitri Nur Cahyani          (123 111 165)
Fitria Salma                    (123 111 166)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi tiga; pertama, tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, kedua, tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam, ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih yang dengannya sesorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
Pada perkembangannya tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebgai tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi ke arah yang ketiga disebut tasawuf ‘irfani. Tasawuf akhlaki dan ‘irfani terus berkembang sejak zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang dan sering di gandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Tasawuf ini banyak berkembang di dunia Islam terutama di negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian tasawuf akhlaki?
2.    Siapa tokoh-tokoh dalam tasawuf akhlaki?
3.    Apa ajaran dalam tasawuf akhlaki?







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian tasawuf akhlaki[1]
Kata “tasawuf”, menurut kaidah ilmu sharaf merupakan bentuk isim masdar, yaitu تَصَوُّفلً , yang berasal dari fi’il tsulatsi mazid khumasi, yaitu تَصَوَّفَ yang memiliki fungsi untuk membentuk makna lil mutawa’ah atau lil musyarakah atau membentuk makna saling. Maka arti kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah bisa membersihkan atau saling membersihkan. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek dari tasawuf ini adalah akhlak manusia. Kemudian saling membersihkan merupakan kata kerja yang di dalamnya harus terdapat dua subjek aktif memberi dan menerima.
Kemudia “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab. Kata أَخْلَآقُ merupakan bentuk jamak dari خُلُقٌ yang secara bahasa bermakna perbuatan atau penciptaan. Akan tetapi, dalam konteks agama, akhlak bermakna perangai, budu, tabiat, adab, atau tingkah laku.
Jika kata tasawuf dengan akhlak disatukan, dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia yang tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.




B.       Tokoh dan Ajaran Tasawuf Akhlaki
1.         Hasan Al-Bashri
a.         Riwayat hidup
Nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar ialah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia lahir di  Madinah pada tahun 21 H (632 M) wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.[2]
  Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri.[3]
b.      Ajaran-ajaran tasawufnya
Abu Na’im AL-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Basri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.[4]
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Akan tetapi, setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya. Sikap itu seirama dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.[5]

2.      Al-Muhasibi dan pandangan tasawufnya
Nama lengkapnya Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah pada tahun 165H/781M dan meninggal pada tahun 243H/857M. Selagi masih kecil ia pinah ke Baghdad. Disinilah ia belajar hadits dan teologi dan bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu. Dia digelari Muhasibi karena suka mengadakan intropeksi.[6]
Tentang kelebihannya, menurut al-Qusyairi, bahwa al-Muhasibi pada masanya adalah seorang yang tidak tertandingi dalam hal ilmu, sifat wara’ dan pergaulannya yang terpelihara baik. Ia mengarang berbagai kitab seperti al-Ra’iyah li Ruquq al-Insan. Ia menjadi panutan kebanyakan orang-orang Baghdad. Di kalangan para sufi, diperkirakan sebagai orang yang pertama kali membahas masalah akhlak dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti latihan jiwa, taubat, sabar, ridha, tawakal, takwa, takut dan lain-lain.[7]
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban, wara’, dan meneladani Rosulullah SAW. Sesudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.[8]
a.       Pandangan Al-Muhasibi tentang makrifat[9]
Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama dan tidak sekali-kali mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan mengaburkan keraguan. Dalam konteks ini, ia menuturkan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah, sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadis tersebut dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut :
1.      Taat. Kecintaan kepada Allah dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan kecintaan semata.
2.      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
3.      Allah SWT menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah SWT.
4.      Apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.

b.      Pandangan Al-Muhasibi tentang khauf dan raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menepati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa.[10] Hal ini juga terlihat dari ungkapan bahwa pangkal wara’ adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri, pangkal introspeksi diri adalah kahuf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, pangkal pengetahuan tetntang keduanya adalah perenungan.[11]
Khauf dan raja’ menurut Al-Muhasibi dapat dilakukan dengan sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah SWT. Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan Ibnu Sina dan Rabi’ah Al-‘Adawiyyah sebagai jenis fana’ atau kecintaan kepada Allah SWT. Yang berlebih-lebihan dan keluar dari apa yang telah dijelaskan Islam serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan Ahlus Sunnah. Al-Muhasibi mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga neraka.[12]
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Tatkala telah melakukan amal shaleh, seseorang berhak mengharap pahala dari Allah SWT. Inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi Muhammad SAW.[13]

3.      Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah satu seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian penting karena karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.[14]
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hazwain lahir tahun 376 di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Ad-Daqaq seorang sufi terkenal. Sang guru menyarankan untuk mengawasi tasawufnya dengan mempelajari syari’t.[15]
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ke tiga dan keempat Hijriyah. Ia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qadim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat hadits-nya. Dari sini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu al-Asy’ariyyah, yang nantinya merujuk pada gagasan al-Qusyairi itu.[16]

4.      Al-Ghazali
a.       Biografi[17]
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi. Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya.
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut pada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naishabur, dan di sinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan.
b.      Ajarannya
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shafa, dab lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.[18] Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Menurut Al-Ghazal, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT dan berhias dengan selalu mengingat Allah SWT. Ia juga berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah SWT dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih.[19]



Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan :
·           Kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah SWT dapat disaksikan.
·           Merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas.[20]












BAB III
KESIMPULAN

1.        Pengertian Tasawuf akhlaki
Tingkah laku manusia yang tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
2.        Tokoh dan Ajaran Tasawuf Akhlaki
a.       Hasan Al-Bashri
Abu Na’im AL-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Basri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
b.      Al-Muhasibi
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban, wara’, dan meneladani Rosulullah SAW. Sesudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
c.       Al-Qusyairi
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ke tiga dan keempat Hijriyah. Ia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qadim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat hadits-nya.

d.      Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shafa, dab lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.
















DAFTAR PUSTAKA

Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN-Malang Press.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 229-230.
[2] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, (Malang: UIN Malang Press, 2008). hlm. 168.
[3] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 231.
[4] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 168.
[5] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 233.
[6] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 169.
[7] Ibid
[8] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 234.
[9] Ibid, hlm. 234-235.
[10] Ibid, hlm. 235.
[11] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 171.
[12] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 236.
[13] Ibid, hlm. 237.
[14] Ibid, hlm. 238.
[15] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 172.
[16] Ibid,
[17] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 242-
[18] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 173.
[19] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 247.
[20] Ibid.

1 komentar:

  1. Ketupat.... kunjungi juga khaidiralibatubara.blogspot.com ya.... KETUPAT

    BalasHapus

PORTOFOLIO RANGKUMAN TUGAS PEMBATIK LEVEL 4 TAHUN 2023

Tidak terasa perjalanan yang luar biasa hingga sampai pada titik ini. Langkah demi langkah, menyelesaikan tugas demi tugas yang tentunya ber...