Tasawuf
Akhlaki

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Taswuf
Dosen pengampu : Drs. Kasmuri, M.Ag
Disusun
oleh :
Fidia Astuti (123
111 163)
Fitri Marta Ningrum (123
111 164)
Fitri Nur Cahyani (123
111 165)
Fitria Salma (123
111 166)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi
tiga; pertama, tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, kedua, tasawuf
yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam,
ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih yang dengannya
sesorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan
dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
Pada perkembangannya tasawuf yang berorientasi kearah pertama
sering disebut sebgai tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah
kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi ke arah yang ketiga
disebut tasawuf ‘irfani. Tasawuf akhlaki dan ‘irfani terus berkembang sejak
zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang dan sering di gandrungi orang
karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Tasawuf ini
banyak berkembang di dunia Islam terutama di negara-negara yang dominan
bermazhab Syafi’i.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian tasawuf akhlaki?
2.
Siapa
tokoh-tokoh dalam tasawuf akhlaki?
3.
Apa
ajaran dalam tasawuf akhlaki?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian tasawuf akhlaki[1]
Kata “tasawuf”, menurut kaidah ilmu sharaf merupakan bentuk isim
masdar, yaitu تَصَوُّفلً , yang berasal dari fi’il tsulatsi
mazid khumasi, yaitu تَصَوَّفَ yang memiliki
fungsi untuk membentuk makna lil mutawa’ah atau lil musyarakah atau
membentuk makna saling. Maka arti kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah bisa
membersihkan atau saling membersihkan. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja
transitif yang membutuhkan objek. Objek dari tasawuf ini adalah akhlak manusia.
Kemudian saling membersihkan merupakan kata kerja yang di dalamnya harus
terdapat dua subjek aktif memberi dan menerima.
Kemudia “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab. Kata أَخْلَآقُ
merupakan bentuk jamak dari خُلُقٌ yang secara bahasa bermakna perbuatan atau
penciptaan. Akan tetapi, dalam konteks agama, akhlak bermakna perangai, budu,
tabiat, adab, atau tingkah laku.
Jika
kata tasawuf dengan akhlak disatukan, dua kata ini akan menjadi sebuah frase,
yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna
membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika
konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia yang tatanan dasar untuk
menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
B.
Tokoh dan Ajaran Tasawuf Akhlaki
1.
Hasan Al-Bashri
a.
Riwayat
hidup
Nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar ialah seorang zahid
yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia lahir di Madinah pada tahun 21 H (632 M) wafat pada
hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dikabarkan bertemu
dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat
lainnya.[2]
Karir pendidikan Hasan
Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama di sana.
Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur
dengan nama Hasan Al-Bashri.[3]
b.
Ajaran-ajaran
tasawufnya
Abu Na’im AL-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan
Al-Basri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’)
tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena
selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada
setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan
seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.[4]
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,
guru besar filsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari
oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Akan tetapi, setelah kami teliti,
ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya,
tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari
tasawufnya. Sikap itu seirama dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Orang beriman
yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya laksana orang duduk di
bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa
dirinya.”[5]
2.
Al-Muhasibi dan pandangan tasawufnya
Nama lengkapnya Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri
al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah pada tahun 165H/781M dan meninggal pada tahun 243H/857M.
Selagi masih kecil ia pinah ke Baghdad. Disinilah ia belajar hadits dan teologi
dan bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu. Dia digelari
Muhasibi karena suka mengadakan intropeksi.[6]
Tentang kelebihannya, menurut al-Qusyairi, bahwa al-Muhasibi pada
masanya adalah seorang yang tidak tertandingi dalam hal ilmu, sifat wara’ dan
pergaulannya yang terpelihara baik. Ia mengarang berbagai kitab seperti al-Ra’iyah
li Ruquq al-Insan. Ia menjadi panutan kebanyakan orang-orang Baghdad. Di
kalangan para sufi, diperkirakan sebagai orang yang pertama kali membahas
masalah akhlak dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti latihan jiwa,
taubat, sabar, ridha, tawakal, takwa, takut dan lain-lain.[7]
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh
melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban, wara’, dan
meneladani Rosulullah SAW. Sesudah melaksanakan hal-hal diatas menurut
Al-Muhasibi seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Berupa penyatuan
antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW dan lebih
mementingkan akhirat daripada dunia.[8]
a.
Pandangan
Al-Muhasibi tentang makrifat[9]
Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama dan
tidak sekali-kali mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan
pengertian lahirnya dan mengaburkan keraguan. Dalam konteks ini, ia menuturkan
sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan
jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah, sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan
hadis tersebut dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa makrifat
harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut :
1.
Taat.
Kecintaan kepada Allah dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar
pengungkapan ungkapan kecintaan semata.
2.
Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan
tahap makrifat selanjutnya.
3.
Allah
SWT menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang
yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia
yang selama ini disimpan Allah SWT.
4.
Apa
yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
b.
Pandangan
Al-Muhasibi tentang khauf dan raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’
(pengharapan) menepati posisi penting dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa.[10]
Hal ini juga terlihat dari ungkapan bahwa pangkal wara’ adalah ketakwaan,
pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri, pangkal introspeksi diri adalah
kahuf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan
ancaman Allah, pangkal pengetahuan tetntang keduanya adalah perenungan.[11]
Khauf
dan raja’ menurut Al-Muhasibi dapat dilakukan dengan
sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia
terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman
Allah SWT. Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan Ibnu Sina dan Rabi’ah
Al-‘Adawiyyah sebagai jenis fana’ atau kecintaan kepada Allah SWT. Yang
berlebih-lebihan dan keluar dari apa yang telah dijelaskan Islam serta
bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan Ahlus Sunnah. Al-Muhasibi
mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan atas dasar targhib
(sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Qur’an jelas pula berbicara
tentang surga neraka.[12]
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh.
Tatkala telah melakukan amal shaleh, seseorang berhak mengharap pahala dari
Allah SWT. Inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi
Muhammad SAW.[13]
3.
Al-Qusyairi
Al-Qusyairi
adalah salah satu seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriah.
Kedudukannya demikian penting karena karya-karyanya tentang para sufi dan
tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan
terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi
teoritis maupun praktis.[14]
Nama lengkap
Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hazwain lahir tahun 376 di Istiwa, kawasan
Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di
sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Ad-Daqaq seorang sufi terkenal. Sang
guru menyarankan untuk mengawasi tasawufnya dengan mempelajari syari’t.[15]
Al-Qusyairi
cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu
dengan mengikuti para sufi sunni abad ke tiga dan keempat Hijriyah. Ia
menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara
sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qadim-Nya, dan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnya sifat hadits-nya. Dari sini jelaslah bahwa
Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi
pada aliran yang sama yaitu al-Asy’ariyyah, yang nantinya merujuk pada
gagasan al-Qusyairi itu.[16]
4.
Al-Ghazali
a.
Biografi[17]
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali.
Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk
mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah Al-Ghazali
adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan
sering aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya,
ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi.
Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya.
Sufi tersebut
menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai
suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi
makan keduanya, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut pada pengelola sebuah
madrasah untuk belajar sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Di madrasah
tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad
Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di
Naishabur, dan di sinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat
478 H/ 1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqih,
filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan.
b.
Ajarannya
Di dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari
paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang
mempengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah,
Ikhwan al-Shafa, dab lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.[18]
Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Menurut
Al-Ghazal, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela,
sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT dan
berhias dengan selalu mengingat Allah SWT. Ia juga berpendapat bahwa sosok sufi
adalah menempuh jalan kepada Allah SWT dan perjalanan hidup mereka adalah yang
terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang
paling bersih.[19]
Al-Ghazali
menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai dua
kelemahan :
·
Kurang
memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami,
mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah SWT dapat
disaksikan.
·
Merupakan
hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan
ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu
pendekatan diri kepada Allah SWT tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan
menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah
moralitas.[20]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pengertian
Tasawuf akhlaki
Tingkah laku manusia yang tatanan dasar untuk menjaga akhlak
manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
2.
Tokoh
dan Ajaran Tasawuf Akhlaki
a.
Hasan
Al-Bashri
Abu Na’im AL-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan
Al-Basri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’)
tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena
selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada
setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu
melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
b.
Al-Muhasibi
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh
melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban, wara’, dan
meneladani Rosulullah SAW. Sesudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi
seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Berupa penyatuan antara fiqh dan
tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW dan lebih mementingkan akhirat
daripada dunia.
c.
Al-Qusyairi
Al-Qusyairi
cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu
dengan mengikuti para sufi sunni abad ke tiga dan keempat Hijriyah. Ia
menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara
sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qadim-Nya, dan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnya sifat hadits-nya.
d.
Al-Ghazali
Di dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari
paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang
mempengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah,
Ikhwan al-Shafa, dab lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.
DAFTAR PUSTAKA
Toriqqudin.
2008. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN-Malang Press.
Anwar,
Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
229-230.
[2] H.Moh.
Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, (Malang: UIN Malang Press,
2008). hlm. 168.
[3] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 231.
[4] H.Moh.
Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 168.
[5] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 233.
[6] H.Moh.
Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 169.
[7] Ibid
[8] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 234.
[9] Ibid, hlm.
234-235.
[10] Ibid, hlm.
235.
[11] H.Moh.
Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 171.
[12] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 236.
[13] Ibid, hlm.
237.
[14] Ibid, hlm.
238.
[15] H.Moh.
Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 172.
[16] Ibid,
[17] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 242-
[18] H.Moh.
Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 173.
[19] Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 247.
[20] Ibid.
Ketupat.... kunjungi juga khaidiralibatubara.blogspot.com ya.... KETUPAT
BalasHapus